..::WILUJEUNG SUMPING::..

Wednesday 1 February 2012

Makalah Inquiri

BAB I
PENDAHULUAN

Upaya mencerdaskan bangsa dan mengembangkan kualitas manusia seutuhnya adalah misi pendidikan yang menjadi tanggung jawab professional setiap guru. Guru tidak cukup hanya menyampaikan materi pengetahuan kepada siswa di kelas tetapi dituntut untuk meningkatkan kemampuan guna mendapatkan dan mengelola informasi yang sesuai dengan kebutuhan profesinya. Mengajar bukan lagi usaha untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, melainkan juga usaha menciptakan sistem lingkungan yang membelajarkan subjek didik agar sesuai dengan tujuan suatu strategi belajar mengajar. Mutu pengajaran tergantung pada pemilihan strategi yang tepat dalam upaya mengembangkan kreativitas seorang siswa.
Strategi erat kaitannya dengan metode dan pendekatan. Seorang guru atau dosen harus bisa memilih metode atau pendekatan mana yang dapat menciptakan suasana belajar yang mengasyikkan. Seorang pendidik tentu mempunyai metode atau pendekatan dan seorang guru yang baik akan memahami dengan baik metode atau pendekatan yang digunakannya sebab tidak ada satu pun metode dan pendekatan yang terbaik untuk semua mata pelajaran. Guru harus memahami bukan hanya bahan atau materi pelajaran akan tetapi juga masalah-masalah siswa, sebab melalui metode mengajar guru harus mampu memberi kemudahan belajar kepada siswa dalam proses belajar. Tidak ada satu pun metode pembelajaran yang dapat diklaim dan dikatakan yang terbaik. Semua berpulang kepada orang yang menjalankannya, yaitu guru yang secara langsung berhadapan dengan pembelajaran. Sebaik apa pun metode yang dipilih, tanpa dukungan guru yang memahami dan mampu menempatkannya dalam pembelajaran yang sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, maka pembelajaran hanya berjalan seadanya, tanpa memberikan keberhasilan dan keefektifan.
Menurut Mukhtar dan Yamin (2005:3) metode pembelajaran yang lazim digunakan dalam hampir semua aktivitas pembelajaran yang interaktif dapat dikelompokkan ke dalam tiga hal. Pertama, metode pembelajaran berbagi informasi. Model ini dapat dikembangkan menjadi model kelompok orientasi, model sidang umum, model seminar, model konferensi kerja, model symposium, model forum, dan model panel. Kedua, model belajar melalui pengalaman. Model ini dapat dikembangkan menjadi model simulasi, model bermain peran, model sajian situasi, model kelompok aplikasi, model sindikat, dan model kelompok “T”. Ketiga, model pemecahan masalah. Model ini dapat dikembangkan menjadi model curah pendapat, model riuh bicara, model diskusi bebas, model kelompok okupasi, model kelompok silang, model tutorial, model studi kasus, dan model lokakarya. Beberapa model ini pada dasarnya merupakan pilihan yang dapat digunakan oleh guru dalam melakukan pembelajarannya.
Sebelum melakukan proses belajar mengajar, seorang guru harus menentukan metode yang akan digunakan agar tujuan pembelajaran yang telah disusun dapat tercapai. Menurut Rustaman, et al. (2005), beberapa metode yang sering digunakan dalam pembelajaran biologi adalah: metode ceramah, tanya jawab, diskusi, belajar kooperatif, demonstrasi, ekspositori atau pameran, karyawisata/widyawisata, penugasan, eksperimen dan bermain peran. Pemilihan dan penerapan suatu metode pembelajaran yang dilakukan oleh guru hendaknya berdasarkan pertimbangan tujuan pembelajaran, karakteristik materi pembelajaran dan sarana pembelajaran. Dengan demikian seorang guru tidak menggunakan metode pembelajaran yang sama untuk semua konsep dalam membelajarkan siswanya, sehingga diharapkan pembelajaran tersebut dapat berhasil dan efektif.
Dalam pendidikan untuk mewujudkan pembelajaran yang berhasil dan efektif tidak mudah. Hal ini selain membutuhkan kesungguhan guru untuk mau mengembangkan metode-metode pembelajarannya sesuai dengan kriteria siswa yang dihadapi, juga dituntut adanya kreativitas dan kecerdasan guru yang tinggi untuk mengkreasikan sumber-sumber pembelajaran yang ada dan memanfaatkannya secara proporsional. Metode pembelajaran yang berhasil lebih menekankan pada keseimbangan antara kebutuhan si pembelajar dengan pemenuhan pembelajaran yang dilaksanakan guru. Pembelajaran yang berhasil lebih mengutamakan kekuatan pada siswa dan sumber yang dihadapi, juga memilih metode yang cocok dalam pembelajaran.
Salah satu langkah untuk mencapai suatu pembelajaran yang berhasil dan efektif adalah memperbaiki kurikulum ke arah yang lebih baik. Di Indonesia, berlakunya kurikulum 2004 Berbasis Kompetensi yang telah direvisi menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut perubahan paradigma dalam pendidikan dan pembelajaran, khususnya pada jenis dan jenjang pendidikan formal (persekolahan). Perubahan tersebut harus pula diikuti oleh guru yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pembelajaran di sekolah (di dalam kelas ataupun di luar kelas). Secara garis besar perubahan kurikulum di Indonesia dilandasi oleh perubahan paradigma terhadap pembelajaran. Paradigma lama menganggap siswa adalah objek belajar, guru harus menuangkan pengetahuan kepada siswa seperti “mengisi air pada gelas kosong” dan memposisikan dirinya sebagai pusat informasi belajar (tabula rasa). Sedangkan paradigma baru menempatkan siswa sebagai subjek belajar, guru adalah sutradara yang harus piawai dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa berinteraksi dengan lingkungan dalam bentuk proses empirik dan analitik, untuk membangun pengetahuannya sendiri (konstruktivisme).
Mengacu pada filsafat konstruktivisme, siswa merupakan pembelajar aktif yang mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Siswa diberi kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan obyek belajar, mengamati, mengembangkan pertanyaan, menghubungkan fakta dengan sumber pengetahuan, mengambil kesimpulan, dan mengkomunikasikan. Guru menjadi fasilitator agar pengalaman belajar di atas dapat berhasil dilaksanakan (Cartono dkk, 2007).
Pada hakikatnya IPA atau sains adalah suatu proses pembelajaran aktif yang dapat membangun kemampuan siswa untuk menyelidiki dan menemukan fakta-fakta tentang alam. Dengan demikian tidak tepat bila guru Sains hanya mengajarkan informasi tentang fakta-fakta dan konsep saja. Guru Sains sebaiknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh informasi tentang fakta-fakta melalui proses. Guru Sains dapat menyusun dan mengaplikasikan rancangan pelaksanaan pembelajaran berdasarkan sifat dari Sain tersebut sehingga siswa dapat membentuk konsep dalam pikirannya.
Pembelajaran Biologi sebagai salah satu bagian dari Sains memiliki empat tujuan yaitu mengajarkan fakta-fakta Biologi, mengembangkan kemampuan, mengajarkan keterampilan dan mendorong sikap yang nyata. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut dalam suatu pembelajaran diperlukan aplikasi pendekatan dan metode yang sudah tersusun dalam silabus dan Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Kadang-kadang sebagian guru tidak mengaplikasikan pendekatan dan metode yang sudah tersusun dalam silabus dan Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran, sehingga semua materi disampaikan kepada siswa dengan pendekatan dan metode yang sama, dengan demikian tujuan pembelajran biologi kemungkinan hanya satu yang tercapai yaitu siswa hanya memperoleh informasi (fakta) saja.
Salah satu pendekatan yang banyak dianjurkan dalam pembelajaran Biologi adalah pendekatan inkuiri. Inkuiri dalam bahasa Inggris berarti pertanyaan, atau pemeriksaan, penyelidikan. Pembelajaran inkuiri dideskripsikan dengan mengajak siswa dalam kegiatan yang akan membangun konsep-konsep sains sebagaimana para sainstis mempelajari sains. Henrichsen dan Jarrett (dalam Zulfiani, 2006) menyatakan bahwa inkuiri merupakan esensi kegiatan (proses) ilmiah (scientific enterprise) dan merupakan suatu strategi pengajaran dan pembelajaran sains.











BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Model Pembelajaran Inkuiri

A.1 Perkembangn Inkuiri
Inkuiri sudah berperan dalam pengajaran program sains di sekolah selama hampir satu abad (Bybee & DeBoer dalam Fadiawati, 2006). Sebelum tahun 1900 sebagian besar pendidik berpendapat bahwa sains sebagai pengetahuan diberikan kepada siswa melalui pengajaran langsung. Namun hal tersebut dikeluhkan John Dewey (1909) dari American Association for The Advacement of Science, yang menyatakan bahwa pengajaran sains terlalu banyak menekankan pada pemberian informasi. Dewey (1910) dalam Cartono (2007) menyatakan bahwa sains adalah proses atau metode untuk belajar. Dewey (1958) menggambarkan inkuiri sebagai hubungan dialektika antara “pelaku inkuiri dan inkuiri”.
Pada tahun 1950-an dan 1960-an, pemikiran bahwa inkuiri sebagai suatu pendekatan dalam pengajaran sains meningkat dengan pesat. Joseph Schwab (Fadiawati, 2006), menyatakan bahwa sains dapat dipandang sebagai struktur konsep yang berubah sebagai hasil fakta/bukti baru. Schwab menyarankan agar guru-guru menghadirkan sains sebagai inkuiri dan siswa menggunakan inkuiri untuk mempelajari materi sains.
Pembelajaran inkuiri banyak dipengaruhi oleh aliran belajar kognitif. Menurut aliran ini belajar pada hakikatnya adalah proses mental dan proses berpikir dengan memanfaatkan segala potensi yang dimiliki setiap individu secara optimal. Belajar lebih daripada hanya proses menghafal dan menumpuk ilmu pengetahuan, tetapi bagaimana pengetahuan yang diperolehnya bermakna untuk siswa melalui keterampilan berpikir.
Teori belajar lain yang mempengaruhi adalah teori belajar konstruktivistik yang dikembangkan oleh Piaget. Menurut Piaget (Dahar:1996), pengetahuan itu akan bermakna manakala dicari dan ditemukan sendiri oleh siswa. Sejak kecil, menurut Piaget, setiap individu berusaha dan mampu mengembangkan pengetahuannya sendiri melalui skema yang ada dalam struktur kognitifnya. Skema ini, secara terus menerus diperbaharui dan diubah melalui proses asimilasi dan akomodasi, tugas guru adalah mendorong siswa untuk mengembangkan skema yang terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi.

A.2 Definisi Pembelajaran Berbasis Inkuiri
Model Pembelajaran Inkuiri merupakan suatu model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan cara berpikir yang bersifat penemuan yaitu menarik kesimpulan berdasarkan data-data teramati. Atas dasar ini model pembelajaran inkuiri menekankan pada pengalaman lapangan seperti mengamati gejala atau mencoba suatu proses kemudian megambil kesimpulan (Kartimi:2007)
Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Amien (1987:127), bahwa dalam proses inkuiri terkandung beberapa proses mental seperti merumuskan masalah, berhipotesis, merancang eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data, menarik kesimpulan, mempunyai sikap-sikap objektif, jujur dan terbuka.
Menurut Schmidt (dalam Ibrahim, 2007) inkuiri adalah suatu proses untuk memperoleh dan mendapatkan informasi dengan melakukan observasi atau eksperimen untuk mencari jawaban atau memecahakan masalah terhadap pertanyaan atau rumusan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir kritis dan logis. Proses inkuiri mengandung tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penemuan (discovery). Misalnya memecahkan masalah, merancang dan melakukan percobaan, mengumpulkan dan menganalisis data, dan lainya.
Inkuiri merupakan salah satu cara agar siswa memperoleh pengalaman belajar dan pembelajarannya akan semakin bermakna dan bertahan lebih lama di dalam ingatan siswa. Hal ini dikarenakan siswa terlibat aktif di dalam memperoleh, mengembangkan, dan memahami pengetahuan atau ide-ide sains. Kegiatan pembelajaran yang mengarahkan siswanya berinkuiri seperti yang dilakukan para ilmuwan diungkapkan Dettrick (dalam Rustaman, et al., 2003) bahwa melakukan pembelajaran dengan berinkuiri berarti membelajarkan siswa untuk mengendalikan situasi yang dihadapi ketika berhubungan dengan dunia fisik, yaitu dengan menggunakan teknik yang digunakan oleh para ahli penelitian. Sedangkan menurut Suchman (dalam Krisnawati, 2005) menyatakan bahwa pembelajaran dengan inkuiri melatih siswa tentang suatu proses untuk menginvestigasi dan menjelaskan fenomena yang tidak biasa. Selanjutnya Suchman (Zulfiani, 2006), berpendapat tentang pentingnya membawa siswa kepada sikap bahwa semua pengetahuan bersifat tentative. Suchman mengembangkan suatu model penemuan baru yang menuntun siswa mengumpulkan data melalui bertanya.

Joyce (1992:199) bahwa teori Suchman dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Mengajak siswa seakan-akan berada dalam kondisi sebenarnya
b. Mengidentifikasi komponen-komponen yang berada di sekeliling kondisi tersebut
c. Merumuskan permasalahan dan membuat hipotesis pada kondisi tersebut
d. Memperoleh data dari kondisi tersebut dengan membuat pertanyaan dan jawaban “ya” atau “tidak”
e. Membuat kesimpulan dari data-data yang diperolehnya

B. Macam-Macam Pembelajaran Berbasis Inkuiri
Rustaman et al. (2003) membedakan model inkuiri menjadi inkuiri terbimbing {guided inqiry) dan inkuiri bebas atau terbuka {open-ended inquiry). Perbedaan antara keduanya terletak pada siapa yang mengajukan pertanyaan dan apa tujuan dari kegiatannya. Lain halnya dengan Willoughby (2005) dalam Juanengsih (2006) yang membedakan pembelajaran berbasis inkuiri menjadi tiga macam. yaitu: inkuiri terstruktur (structured inquiry), inkuiri terbimbing {guided inquiry), dan inkuiri yang diawali siswa {student-initiated inquiry).
definisi pembelajaran berbasis inkuiri mencakup beberapa pendekatan yang berbeda yaitu meliputi:
a. Inkuiri terstruktur (structured inquiry), guru mengemukakan masalah pada siswa untuk diselidiki, dan juga prosedur dan alat-alat yang digunakan, tetapi guru tidak memberi tahu hasilnya. Siswa menemukan hubungan diantara variabel-variabel atau generalisasi dari data yang telah terkumpul. Tipe penyelidikan ini mirip dengan apa yang disebut dengan buku masak, walaupun aktivitas terstruktur dengan apa yang diobservasi oleh siswa dan data yang mereka kumpulkan.
b. Inkuiri terpimpin (guided inquiry), guru hanya memberikan alat-alat dan masalah untuk diselidiki, siswa merencanakan sendiri prosedur untuk memecahkan masalah.
c. Inkuiri terbuka (open inquiry), pendekatan ini serupa dengan inkuiri terpimpin dengan tambahan siswa merumuskan masalah untuk diselidiki Inkuiri terbuka dalam beberapa hal, analog dengan pekerjaan sains.

Beberapa macam model pembelajaran inkuiri yang dikemukakan oleh Sund dan Trowbridge (1973) dalam Dahar (1996) diantaranya :
a. Guide Inquiry
Pembelajaran inkuiri terbimbing yaitu suatu model pembelajaran inkuiri yang dalam pelaksanaannya guru menyediakan bimbingan atau petunjuk cukup luas kepada siswa. Sebagian perencanaannya dibuat oleh guru , siswa tidak merumuskan problem atau masalah. Dalam pembelajaran inkuiri terbimbing guru tidak melepas begitu saja kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh siswa. Guru harus memberikan pengarahan dan bimbingan kepada siswa dalam melakukan kegiatan-kegiatan sehingga siswa yang berifikir lambat atau siswa yang mempunyai intelegensi rendah tetap mampu mengikuti kegiatan-kegiatan yang sedang dilaksanakan dan siswa mempunyai intelegensia tinggi tidak memonopoli kegiatan oleh sebab itu guru harus memiiki kemampuan mengelola kelas yang baik.
Inkuiri terbimbing biasanya digunakan terutama bagi siswa-siswa yang belum berpengalaman belajar dengan pendekatan inkuiri.Pada tahap-tahap awal pengajaran diberikan bimbingan lebih banyak yaitu berupa pertanyaan-pertanyaan pengarah agar siswa mampu menemukan sendiri arah dan tindakan-tindakan yang harus dilakukan untuk memecahkan permasalahan yang disodorkan oleh guru. Pertanyaan-pertanyaan pengarah selain dikemukakan langsung oleh guru juga diberikan melalui pertanyaan yang dibuat dalam LKS. oleh sebab itu LKS dibuat khusus untuk membimbing siswa dalam melakukan percobaan dan menarik kesimpulan.
b. Modified Inquiry
Model pembelajaran inkuiri ini memiliki ciri yaitu guru hanya memberikan permasalahan tersebut melalui pengamatan, percobaan, atau prosedur penelitian untuk memperoleh jawaban. Disamping itu , guru merupakan nara sumber yang tugasnya hanya memberikan bantuan yang diperlukan untuk menghindari kegagalan dalam memecahkan masalah.
c. Free Inquiry
Pada model ini siswa harus mengidentifikasikan dan merumuskan macam problema yang dipelajari dan dipecahkan. Jenis model inkuiri ini lebih bebas daripada kedua jenis inkuiri sebelumnya.
d. Inquiry role Approach
Model pembelajaran inkuiri pendekatan peranan ini melibatkan siswa dalam tim-tim yang masing-masing terdiri atas empat orang untuk memecahkan masalah yang diberikan. Masing-masing anggota memegang peranan yang berbeda, yaitu sebagai koordinator tim, penasihat teknis, pencatat data, dan evaluator proses.
e. Invitation Into Inquiry
Model inkuiri jenis ini siswa dilibatkan dalam proses pemecahan masalah dengan cara-cara yang lain ditempuh para ilmuwan. Suatu undangan (invitation) memberikan suatu problema kepada para siswa dan melalui pertanyaan masalah yang telah direncanakan dengan hati-hati mengundang siswa untuk melakukan beberapa kegiatan atau kalau mungkin semua kegiatan berikut:a) Merancang eksperimen, b) Merumuskan Hipotesis , c) Menentukan sebab akibat, d) menginterpretasikan data, e) Membuat grafik, f) Menentukan peranan diskusi dan kesimpulan dalam merencanakan peneitian ,g) mengenal bagaimana kesalahan eksperimental mungkin dapat dikurangi atau diperkecil.
f. Pictorial Riddle
Pada model ini merupakan metode mengajar yang dapat mengembankan motivasi dan minat siswa dalam diskusi kelompok kecil atau besar , Gambar peragaan, atau situasi sesungguhnya dapat digunakan untuk mningkatkan cara berfikir kritis dan kreatif para siswa.Biasanya, suatu riddle berupa gambar dipapan tulis, poster, atau diproyeksikan dari suatu transparansi, kemudian guru mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan riddle itu.
g. Synectics Lesson
Pada jenis ini memusatkan keterlibatan siswa untuk membuat berbagai macam bentuk kiasan supaya dapat membuka intelegensinya dan mengembangkan kreativitasnya. Hal ini dapat dilaksanakan karena kiasan dapat membantu siswa dalam berfikir untuk memandang suatu problema sehingga dapat menunjang timbulnya ide-ide kreatif.
h. Value Clarification
Pada model pembelajaran inkuiri jenis ini siswa lebih difokuskan pada pemberian kejelasan tentang suatu tata aturan atau nilai-nilai pada suatu proses pembelajaran.

C. Strategi Pembelajaran Inkuiri
Strategi pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa. Strategi ini berangkat dari asumsi bahwa sejak manusia lahir ke dunia, manusia memiliki dorongan untuk menemukan sendiri pengetahuannya. Pengetahuan yang dimiliki manusia akan bermakna (meaningfull) manakala didasari oleh keingintahuan itu.
Ada tiga hal yang menjadi ciri utama strategi pembelajaran inkuiri ini (Sanjaya, 2006). Pertama, strategi inkuiri menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan, artinya strategi inkuiri menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Dalam proses pembelajaran, siswa tidak hanya berperan sebagai penerima pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal, tetapi juga berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu sendiri. Kedua, seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri. Dengan demikian, strategi pembelajaran inkuiri menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar, akan tetapi sebagai fasilitator dan motivator belajar siswa. Ketiga, tujuan dari penggunaan strategi pembelajaran inkuiri adalah mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis dan kritis, atau mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental. Dengan demikian, dalam strategi pembelajaran inkuiri siswa tidak hanya dituntut agar menguasai materi pelajaran, akan tetapi bagaimana mereka dapat menggunakan potensi yang dimilikinya.
Menurut Suchman (Zulfiani, 2006), ada dua strategi pembelajaran inkuiri yaitu inkuiri deduktif dan inkuiri induktif. Suchman (Zulfiani, 2006) menyatakan bahwa kedua orientasi ini memiliki perbedaan pada proses penemuan konsep. Inkuiri deduktif menekankan aktifitas inkuiri setelah dosen memaparkan terlebih dahulu konsep atau prinsip, sementara penemuan konsep atau prinsip pada inkuiri induktif dilakukan oleh siswa setelah mereka melakukan aktivitas inkuiri

Strategi pembelajaran inkuiri akan efektif, jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Sanjaya, 2006):
1. Guru mengharapkan siswa dapat menemukan sendiri jawaban dari suatu permasalahan yang ingin dipecahkan. Dengan demikian dalam strategi inkuiri penguasaan materi pelajaran bukan sebagai tujuan utama pembelajaran, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah proses belajar.
2. Jika bahan pelajaran yang akan diajarkan tidak berbentuk fakta atau konsep yang sudah jadi, akan tetapi sebuah kesimpulan yang perlu pembuktian.
3. Jika proses pembelajaran berangkat dari rasa ingin tahu siswa terhadap sesuatu.
4. Jika jumlah siswa yang belajar tidak terlalu banyak sehingga bisa dikendalikan oleh guru.
5. Jika guru memiliki waktu yang cukup untuk menggunakan pendekatan yang berpusat pada siswa.

Untuk menggunakan metode inkuiri, kelas harus reflektif, dengan tiga ciri-ciri yang esensial (Sanjaya, 2006), yaitu :
1. Pendekatan inkuiri dapat digunakan dalam kelas yang memiliki iklim terbuka dalam diskusi, karena para siswa dituntut untuk mengemukakan gagasannya tentang masalah tertentu tanpa dibatasi oleh apa pun seperti pandangan negatif atau bertentangan dengan kesimpulan umum.
2. Kelas harus menekankan pada jawaban yang bersifat sementara (hypothesis) karena itu diskusi kelas akan berorientasi di sekitar solusi-solusi yang bersifat hipotetik. Pengetahuan digambarkan sebagai hipotesis yang secara terus menerus diuji dan diuji kembali. Siswa dan guru mengumpulkan data dari sumber yang berbeda, melakukan analisis, merevisi pengetahuan mereka dan mencoba kembali.

3. Kelas yang reflektif menggunakan fakta-fakta sebagai bukti. Kelas dianggap sebagai tempat membentuk dan tempat berlatih untuk melakukan inkuiri ilmiah. Validasi fakta-fakta dalam menggunakan metode ini memperoleh tempat yang penting.

D. Karakteristik Inkuiri
Henrichsen & Jarrett (Zulfiani, 2006) menyatakan empat karakteristik inkuiri, yaitu: (1) Koneksi, (2) Desain, (3) Investigasi, (4) Membangun Pengetahuan. Berikut perbandingan uraian singkat masing-masing karakteristik inkuiri dalam bentuk matriks (Tabel 1).


Koneksi Desain Investigasi Membangun Pengetahuan
• Proses koneksi melalui: konsiliasi, pertanyaan, dan observasi
• Mahasiswa mampu menghubungkan pengetahuan sains pribadi dengan konsep komu-nitas sains
• Dilakukan dengan diskusi bersama, eksplorasi, fenomena.
• Dosen mendorong untuk mendiskusikan dan menjelaskan pemahaman mereka tentang bagaimana suatu fenomena bekerja, menggunakan contoh dari pengalaman pribadi menemukan hubungan dengan literatur. • Proses desain melalui prosedur materi.
• Mahasiswa membuat perencanaan pengumpulan data yang bermakna yang ditujukan pada pertanyaan. Disini terjadi integrasi konsep sains dengan proses sains.
• Mahasiswa berperan aktif mendiskusikan prosedur, persiapan materi, menentukan variabel kontrol dan pengukuran.
• Dosen memantau ketepatan aktivitas mahasiswa. • Proses melalui koleksi dan mempresentasikan data.
• Mahasiswa dapat membaca data secara akurat, mengorganisasi data dalam cara yang logis dan bermakna, dan memperjelas hasil penyelidikan. • Proses melalui refleksi-kontruksi-prediksi.
• Konsep yang dilakukan dengan eksperimen akan memberi arti yang lebih bermakna dan mampu berpikir kritis. Ia harus menghubungkan antara interpretasi ilmiah yang diterima.
• Mahasiswa dapat mengaplikasikan pemahamannya pada situasi baru yang mengembangkan inferensi, generalisasi, dan prediksi.
• Dosen bertukar pendapat (sharing) terhadap pemahaman mahasiswa.

F. Pembelajaran Biologi Berbasis Inkuiri
Pembelajaran berbasis inkuiri adalah proses yang melibatkan siswa dalam pembelajaran dengan cara merumuskan pertanyaan, menyelidiki secara luas dan kemudian membentuk pengertian baru, pemahaman dan pengetahuan. Belajar IPA khususnya biologi bukan hanya sebagai penguasaan konsep-konsep, fakta-fakta atau prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses inkuiri.
Dalam NRC (1996) pembelajaran sains yang berorientasi inkuiri akan bersifat aktif melibatkan siswa, belajar secara "hands-on" dan eksperimen, belajar berdasarkan aktivitas, menggabungkan inkuiri dengan pendekatan diskoveri, mengembangkan keterampilan proses melalui metode ilmiah. Menurut Haury (dalam Anggraeni, 2006) jika dilihat dari pandangan ilmu, pembelajaran sains berbasis inkuiri akan mengikutsertakan siswa dalam menggali atau me-nemukan ilmu, melibatkan aktivitas dan keterampilan, tetapi fokusnya adalah mencari pengetahuan secara aktif atau memahami untuk memuaskan keingintahuannya.
Pembelajaran berbasis inkuiri meliputi kegiatan observasi, mengajukan pertanyaan, memeriksa buku-buku dan sumber-sumber lain untuk melihat informasi yang ada, merencanakan penyelidikan, merangkum apa yang sudah diketahui dalam bukti eksperimen, menggunakan alat untuk mengumpulkan, menganalisis dan interpretasi data, mengajukan jawaban, penjelasan, prediksi, serta mengkomunikasikan hasil (NRC, 1996)
Menurut Haury (Anggraeni, 2006) pengajaran sains berorientasi inkuiri di sekolah menengah pada umumnya dapat meningkatkan kinerja siswa dalam keterampilan laboratorium, keterampilan membuat grafik dan menginterpretasikan data. Selain itu efektif dalam membantu perkembangan literasi sains, pemahaman proses sains, pengetahuan terminologi dan pemahaman konseptual, berpikir kritis, sikap positip terhadap sains, hasil belajar tertinggi dalam tes pengetahuan prosedural, dan membangun pengetahuan logika matematis. Trowbridge (Cartono, 2007) menambahkan bahwa pendekatan inkuiri akan menyebabkan beberapa hal. Pertama, pembelajaran menjadi student centered, terbangunnya konsep diri yang positif dari siswa, peningkatan tingkat pengharapan, dan pengembangan bakat. Kedua, terhindarnya belajar pada tingkat verbal, memungkinkan siswa secara mental untuk mengambil dan mengakomodasi informasi (Anggraeni, 2006).
Joyce et al. (Zulfiani, 2006) mengembangkan suatu model belajar yang dikenal dengan istilah Biological Science Inquiry Model. Model tersebut memiliki empat fase kegiatan pembelajaran, yaitu: (1) memfokuskan area penyelidikan (Post area of investigation). Pada fase pertama ini area penyelidikan dikemukakan pada mahasiswa termasuk metode yang digunakannya. (2) mahasiswa memfokuskan masalah (Student structure the problem). Pada fase kedua, masalah dirumuskan agar mahasiswa mengidentifikasi kesulitan penyelidikan yang bisa berupa interpretasi data, pemerolehan data, kontrol eksperimen dan membuat inferensi. (3) mahasiswa mengidentifikasi masalah dalam penyelidikan (Student identify the problem in the Investigation). Pada fase ketiga ini mahasiswa diminta untuk menerka masalah sehingga mereka dapat mengidentifikasi kesulitan inkuiri.(4) mahasiswa memperjelas hasil penyelidikan (Student spe-culate on ways to clear up the difficulty). Pada fase keempat ini mahasiswa kemudian diminta mengemukakan cara-cara menjelaskan kesulitan dengan merancang eksperimen, mengorganisasi dan dengan berbagai cara, mengembangkan konstruksi.
Urutan kegiatan yang dilakukan adalah merencanakan, mendiskusikan, menghipotesiskan, menganalisis, dan menafsirkan sekelompok data yang terkumpul dari hasil pengamatan anggota kelompok dalam upaya mendapatkan konsep umum mengenai topik yang dipermasalahkan. Jadi disusun teori-teori atau pengertian untuk diuji melalui eksperimen dan/atau melalui analisis data sebagai hasil observasi. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengembangkan sifat ingin tahu dan imajinasi siswa serta kemampuan mereka mengungkapkan pemikirannya, untuk menyelidiki dan memahami sendiri. Siswa harus diberi motivasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan atau cara-cara baru untuk menghadapi kerumitan bila dalam memecahkan permasalahan tidak ditemukan apa yang diharapkan.
Satu pendekatan yang direncanakan untuk satu pembelajaran mungkin dalam pelaksanaan proses tersebut menggunakan beberapa metode. Pada hakekatnya tidak pernah terjadi satu materi pelajaran diajarkan dengan menggunakan hanya satu metode. Pembelajaran dengan menggunakan banyak metode akan menunjang pencapaian tujuan pembelajaran yang lebih bermakna (Rustaman et al., 2003). Demikian halnya pembelajaran inkuiri dalam pelaksanaannya menggunakan berbagai metode. Beberapa metode yang sering digunakan dalam pembelajaran inkuiri adalah: (1) Metode tanya jawab; (2) Metode diskusi; (3) Metode belajar kooperatif; (4) Metode penugasan; dan (5) Metode eksperimen yang dalam pelaksanaannya dilakukan kegiatan hands-on.

G. Langkah-langkah Pendekatan Inkuiri Dalam pembelajaran Biologi
Langkah langkah dalam pendekatan inkuiri dapat disajikan melalui berbagai cara, yaitu "penemuan melalui inkuiri" dan "ajakan untuk berinkuiri".
1. Penemuan Melalui Inkuiri
Penemuan melalui inkuari ini dicetuskan oleh Richard Suchman. Teknik ini menggunakan berbagai macam sistem penyampaian seperti film, slide atau cerita naratif didukung oleh foto-foto atau demonstrasi suatu gejala untuk mengemukakan masalah sebab akibat. Dalam hal ini inkuari dilaksanakan tanpa adanya kegiatan siswa melakukan eksperimen atau menggunakan peralatan. Siswa mengumpulkan data mengenai permasalahannya dengan cara mengemukakan pertanyaan. Biasanya hanya pertanyaan-pertanyaan untuk mencari data melalui bentuk jawaban "ya" atau "tidak" saja yang digunakan. Rasional dibalik kegiatan perlunya siswa membuat pertanyaan dan bukannya guru bertanya adalah bahwa bila siswa mengamati atau mengeksplorasi, guru tidak tahu kegiatan kognitif apa yang terjadi dalam alam pikiran siswa. Akan tetapi apabila siswa menyatakan apa yang ada dalam pikiran mereka dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan, guru akan mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai bagaimana mereka berpikir. Pertanyaan siswa yang hanya dapat dijawab dengan ya atau tidak oleh guru untuk menghindari pertanyaan yang terstruktur yang membutuhkan jawaban tertentu. Untuk dapat menyusun pertanyaan yang hanya dapat dijawab ya atau tidak menuntut siswa untuk berpikir kritis.
Dengan banyak latihan ternyata siswa menjadi penyelidik yang mahir. Pada mulanya pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan masih sangat umum, namun lama kelamaan pertanyaan berkembang menjadi sangat menjurus dan spesifik. Inkuari ini bukan metode yang dapat digunakan untuk mengembangkan keteram¬pilan kognitif dasar yang memungkinkan siswa menemukan faktor-faktor yang menyebabkan perubahan yang diamati.
2. Ajakan untuk Berinkuari
Suatu teknik lain dalam pendekatan inkuari adalah ajakan untuk berinkuari. Teknik ini bermaksud menjadikan siswa penyelidik-penyelidik yang mahir. Teknik ini menekankan pada bagaimana data diperoleh dan diubah menjadi pengetahuan. Dalam hal ini belajar tentang biologi dan lingkungan hidup bukan hanya untuk mengetahui dari orang lain apa yang telah diketahui. Tetapi pengetahuan lingkungan diperoleh melalui berbagai cara. Salah satunya adalah dengan cara menyajikan suatu masalah dan melakukan eksperimen untuk memecahkannya. Data yang terkumpul dari eskperimen ini diberi penjelasan, dianalisis dan diinterpretasikan siswa. Cara lain ialah memberikan kepada siswa sekumpulan data lalu menugaskan mereka menginterpretasinya atau mendapat kesimpulan dari data tersebut.
Pengajaran dengan menggunakan inkuari juga dapat berlangsung bila dikemukakan situasi permasalahan dan siswa diajak untuk mengembangkan hipotesis dari hasil pengamatan mereka mengenai permasalahan itu. Hipotesis yang disusun dapat diuji melalui kegiatan latihan ajakan mengadakan inkuari berikutnya.
Urutan pembelajaran berbasis inkuiri yang diajukan NRC (Anggraeni, 2006), langkah¬-langkahnya sebagai berikut:
a. Tahap undangan berinkuiri (invitation phase)
Merupakan tahap awal pada semua tingkatan inkuiri . Tahap ini memberi siswa kesempatan untuk mengalami suatu fenomena atau hal baru yang menantang atau berbeda dengan pandangan atau asumsi tertentu. Fenomena atau hal baru tersebut dirancang untuk merangsang dan memotivasi rasa ingin tahu siswa melalui metode questioning.
Pertanyaan yang mungkin diajukan guru adalah:
1) Apakah kamu pernah melihat ...?
2) Apakah kamu menyadari bahwa ...?
3) Apa yang kamu amati ...?
Keterlibatan siswa yang diamati pada tahap pertama adalah:
1) Siswa termotivasi dan memberi respon positif terhadap masalah yang dikemukakan
2) Siswa mengungkapkan ide awalnya
b. Tahap Menggali Pemahaman Siswa (exploration phase)
Dalam tahap ini, siswa mengumpulkan informasi, mengidentifikasi dan merumuskan hipotesis terhadap peristiwa yang mereka lihat atau alami, yang dibantu dengan pertanyaan-pertanyaan pengarah dari guru. Pertanyaan-pertanyaan dieliminasi dan dipersempit ke arah pertanyaan-pertanyaan yang dapat menjawab eksperimen atau penelitian.
Pertanyaan yang mungkin diajukan guru adalah:
1) Apa yang terjadi ketika ... ?
2) Apa yang kamu ... ?
3) Apa yang sebaiknya kita lakukan untuk menemukan ...?
4) Apa pertanyaan yang kamu ajukan ?
Keterlibatan siswa yang diamati pada tahap kedua adalah:
1) Siswa melakukan pengamatan terhadap masalah yang diberikan oleh guru
2) Siswa merumuskan masalah
3) Siswa mengidentifikasi masalah
4) Siswa membuat hipotesis
c. Tahap melaksanakan percobaan/investigasi (experiment phase)
Tahap ini merupakan tahap dimana siswa berkelompok dan melaksanakan ekserimen untuk menguji hipotesis. Siswa mengumpulkan data dan informasi.
Pertanyaan yang mungkin diajukan guru adalah:
1) Apa yang kamu temukan mengenai ... ?
2) Mengapa hal tersebut sama atau berbeda dari ... ?
3) Apa yang kamu ketehui mengenai karakteristik dari ... ?
Keterlibatan siswa yang diamati pada tahap kedua adalah :
1) Siswa melakukan eksperimen
2) Siswa melakukan kerjasama dalam mengumpulkan data
d. Tahap menyajikan hasil percobaan (presentation phase)
Pada tahap ini, guru mengajak siswa melakukan analisis dan diskusi terhadap hasil-hasil yang diperoleh sehingga siswa mendapatkan konsep dan teori yang benar sesuai konsep ilmiah serta terhindar dari miskonsepsi. Siswa secara berkelompok atau individual mencatat informasi hasil eksperimen dan menyusunnya dalam bentuk laporan sementara hasil percobaan. Masing-masing kelompok mempresentasikan temuannya. Kelompok yang melakukan presentasi akan berbagi data dengan kelompok lain dan memberi kesempatan untuk tanya jawab mengenai langkah kerja, data, informasi-informasi apa saja yang diperlukan berkaitan dengan konsep atau teori yang telah mereka dapatkan pada tahap sebelumnya, dan lain-lain.
Pertanyaan yang mungkin diajukan guru adalah:
1) Dapatkah kamu menjelaskan mengapa ... ?
2) Faktor apa saja yang berperan dalam ... ?
3) Dapatkan kamu menemukan cara untuk ... ?
4) Bagaimana kamu memecahkan masalah untuk ... ?
Keterlibatan siswa yang diamati pada tahap kedua adalah :
1) Siswa melakukan diskusi
2) Siswa menyimpulkan hasil eksperimen
3) Siswa mengumpulkan dan mencatat informasi yang diperoleh
4) Siswa aktif bertanya

F. Peran Guru
Pembelajaran inkuiri Suchman, peran guru memonitor pertanyaan siswa untuk mencegah agar proses inkuiri, tidak sama dengan permainan tebakan.Hal ni memerlukan dua aturan penting, yaitu:
1. Pertanyaan harus dijawab ”ya” atau ”tidak”dan harus diucapkan dengan suatu cara siswa dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan melakukan pengamatan.
2. Pertanyaan harus disusun sedemikian rupa sehingga tidak mengakibatkan guru memberikan jawaban pertanyaan tersebut,tetapi mengarahkan siswa untuk menemukan jawabannya sendiri.

E. Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Berbasis Inkuiri
1. Kelebihan pembelajaran berbasis inkuiri
Beberapa kelebihan pembelajaran berbasis inkuiri sebagaimana dikemukakan oleh Sudirman (1991:169-171) adalah :
a. Strategi pengajaran menjadi berubah dari yang bersifat penyajian informasi oleh guru kepada siswa, menjadi pengajaran yang menekankan kepada proses pengolahan informasi, dimana siswa aktif mencari dan mengolah sendiri informasi dengan kadar proses mental yang lebih tinggi atau lebih banyak.
b. Pengajaran berubah dari teacher-centered menjadi student-centered. Guru tidak lagi mendominasi seluruhnya kegiatan belajar mengajar siswa, tetapi lebih banyak bersifat membimbing, dan memberi kebebasan belajar kepada siswa.
c. Membantu dalam menggali ingatan untuk diterapkan dalam situasi proses belajar yang baru.
d. Dapat membentuk dan mengembangkan self-concept pada diri siswa, sehingga secara psikologis siswa akan merasa aman, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, berkeinginan untuk selalu mengambil dan megeksplorasi kesempatan yang ada, dan lebih kreatif.
e. Penelitian dapat dilakukan dalam satu periode pertemuan. Waktu yang singkat ini menunjukkan bahwa siswa dapat mengalami langkah-langkah inkuiri dengan cepat dan dengan pelatihan mereka akan lebih terampil dalam melakukan inkuiri.

2 Kekurangan pembelajaran berbasis inkuiri
Menurut Gilstrasp dan Martin (1975:68) menyebutkan beberapa kekuarangan pembelajaran berbasis inkuiri sebagai berikut:
a. Strategi ini mengandalkan suatu kesiapan berfikir tertentu, sebagai contoh siswa yang berfikir lambat bisa bingung dalam memberi kesimpulan pada kegiatan pembelajaran sedangkan siswa yang memiliki kemampuan berfikir tinggi bisa memonopoli kegiatan pembelajaran.
b. Tidak efisien untuk kelas dengan jumlah siswa besar
c. Harapan dalam metode ini dapat terganggu oleh siswa-siswa dan guru-guru yang telah terbiasa dengan pengajaran konvensional.
d. Dalam beberapa bidang ilmu, fasilitas yang dibutuhkan untuk menguji ide-ide tertentu tidak tersedia.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, S. (2007). Program Developed of General Biology Inquiry Based Course for Preservice Biology Teachers. Proceeding of The First International Seminar on Science Education. Science Education Facing Against the Challenges of the 21 Century, 231-241.

Amin, M. (1987). Mengajarkan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Dengan Menggunakan Metode “Discovery” dan “Inquiry”. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdikbud.

Colburn, A. (2004). An Inquiry Primer, http://inkido.indiana.edu/mikeb/ActionResearchClass/assignments/sample_action_project.pdf

Dahar, R. W. (1996). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Galileo Educational Network. (2004). What is Inquiry ? Inquiry & ICT. Retrieved July 12, 2004, from http://www.galileo.org/inquiry-what.html

Mukhtar dan Martinis. (2002). Sepuluh Kiat Sukses Mengajar Di Kelas. Jakarta: PT Rakasta Samasta.

Rustaman, et.al. (2003). Strategi Belajar Mengajar. Jurusan Pendidikan Biologi. FPMIPA UPI Bandung : Tidak diterbitkan.

Sudirman, dkk. (1992) Ilmu Pendidikan, Bandung: PT. Remaja.

Sund & Trowbridge. (1973). Teaching Science by Inquiry in the Secondary School. Columbus: Charles E. Merill Publishing Company.

The Youth Learning. (2001). Key Principle of Inquiry Based-Learning. Retrieved December 12, 2005, form http://youth.learn/howtocreate inquiry.htm
The Youth Learning. (2001). Key Principle of Inquiry Based-Learning. Retrieved December 12, 2005, form http://youth.learn/howtocreate inquiry.htm


INQUIRY

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pengajaran Biologi Sekolah Lanjutan












OLEH :
Inna Tresnagalih, S.Pd ( 0907787 )
Dedi Mulyadi, S.Pd ( 0907889 )






PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA
KONSENTRASI PENDIDIKAN BIOLOGI SL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2010

PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK

MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK
SEBAGAI ALTERNATIVE MENGATASI MASALAH PEMBELAJARAN
Oleh: Dina Gasong
1. Pengantar
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang begitu pesat pada era globalisasi, membawa perubahan yang sangat radikal. Perubahan itu telah berdampak pada setiap aspek kehidupan, termasuk pada system pendidikan dan pembelajaran. Dampak dari perubahan yang luar biasa itu terbentuknya suatu ‘kumonitas global’, lebih parah lagi karena komunitas global itu ternyata tiba jauh lebih cepat dari yang diperhitungkan: revulusi informasi telah menghadirkan dunia baru yang benar-benar hyper-reality.
Akibat dari perubahan yang begitu cepatnya, manusia tidak bias lagi hanya bergantung pada seperangkat nilai, keyakinan, dan pola aktivitas social yang konstan. Manusia dipaksa secara berkelanjutan untuk menilai kembali posisi sehubungan dengan factor-faktor tersebut dalam rangka membangu sebuah konstruksi social-personal yang memungkin atau yang tampaknya memungkinkan. Jika masyarakat mampu bertahan dalam menghadapi tantangan perubahan di dalam dunia pengetahuan, teknologi, komunikasi serta konstruksi social budaya ini, maka kita hasrus mengembangkan proses-proses baru untuk menghadapi masalah-masalah baru ini. Kita tidak dapat lagi bergantung pada jawaban-jawaban masa lalu karena jawaban-jawaban tersebut begitu cepatnya tidak berlaku seiring dengan perubahan yang terjadi. Pengetahuan, metode-metode, dan keterampilan-keterampilan menjadi suatu hal yang ketinggalan zaman hamper bersamaan dengan saat hal-hal ini memberikan hasilnya. Degeng (1998) menyatakan bahwa kita telah memasuki era kesemrawutan. Era yang datangnya begitu tiba-tiba dan tak seorang pun mampu menolaknya. Kita harus masuk di dalamnya dan diobok-obok. Era kesemrawutan tidak dapat dijawab dengan paradigma keteraturan, kepastian, dan ketertiban. Era kesemrawutan harus dijawab dengan paradigma kesemrawutan. Era kesemrawutan ini dilandasi oleh teori dan konsep konstruktivistik; suatu teori pembelajaran yang kini banyak dianut di kalangan pendidikan di AS. Unsure terpenting dalam konstruktivistik adalah kebebasan dan keberagaman. Kebebasan yang dimaksud ialah kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan pa yang mampu dan mau dilakukan oleh si belajar. Keberagaman yang dimaksud adalah si belajar menyadari bahwa individunya berbeda dengan orang/kelompok lain, dan orang/kelompok lain berbeda dengan individunya.
Alternative pendekatan pembelajaran ini bagi Indonesia yang sedang menempatkan reformasi sebagai wacana kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan hanya di bidang pendidikan, melainkan juga di segala bidang. Selama ini, wacana kita adalah behavioristik yang berorientasi pada penyeragaman yang pada akhirnya membentuk manusia Indonesia yang sangat sulit menghargai perbedaan. Perilaku yang berbeda lebih dilihat sebagai kesalahan yang harus dihukum. Perilaku manusia Indonesia selama ini sudah terjangkit virus kesamaan, virus keteraturan, dan lebih jauh virus inilah yang mengendalikan perilaku kita dalam berbangsa dan bernegara.
Longworth (1999) meringkas fenomenan ini dengan menyatakan: ‘Kita perlu mengubah focus kita dan apa yang perlu dipelajari menjadi bagaimana caranya untuk mempelajari. Perubahan yang harus terjadi adalah perubahan dari isi menjadi proses. Belajar bagaimana cara belajar untuk mempelajari sesuatu menjadi suatu hal yang lebih penting daripada fakta-fakta dan konsep-konsep yang dipelajari itu sendiri’.
Oleh karena itu, pendidikan harus mempersiapkan para individu untuk siap hidup dalam sebuah dunia di mana masalah-masalah muncul jauh lebih cepat daripada jawaban dari masalah tersebut, di mana ketidakpastian dan ambiguitas dari perubahan dapat dihadapi secara terbuka, di mana para individu memiliki keterampilan-keterampilan yang diperlukannya untuk secara berkelanjutan menyesuaikan hubungan mereka dengan sebuah dunia yang terus berubah, dan di mana tiap-tiap dan kita menjadi pemberi arti dari keberadaan kita. Beare & Slaughter (1993) menagaskan, ‘Hal ini tidak hanya berarti teknik-teknik baru dalam pendidikan, tetapi juga tujuan baru. Tujuan pendidikan haruslah unutk mengembangkan suatu masyarakat di mana orang-orang dapat hidup secara lebih nyaman dengan adanya perubahan daripada dengan adanya kepastian. Dalam dunia yang akan datang, kemampuan untuk menghadapi hal-hal baru secara tepat lebih penting daripada kemampuan untuk mengetahui dang mengulangi hal-hal lama.
Kebutuhan akan orientasi baru dalam pendidikan ini terasa begitu kuat dan nyata dalam berbagai bidang studi, baik dalam bidang studi eksakta maupun ilmu-ilmu social. Para pendidik, praktisi pendidikan dan kita semua, mau tidak mau harus merespon perubahan yang terjadi dengan mengubah paradigma pendidikan. Untuk menjawab dan mengatasi perubahan yang terjadi secara terus-menerus, alternative yang dapat digunakan adalah paradigmna konstruktivistik.

2. Hakikat Pembelajaran Behavioristik dan Pembelajaran Konstruktivistik

a. Hakikat Pembelajaran Behavioristik
Thornike, salah seorang penganut paham behavioristik, menyatakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang sisebut stimulus (S) dengan respon ® yang diberikan atas stimulus tersebut. Pernyataan Thorndike ini didasarkan pada hasil eksperimennya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbeagai situasi yang diberikan seekor hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat terbentuk bergantung pada kekuatan keneksi atau ikatan-ikatan antara situasi dan respon tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Oleh karena itu, menurut Hudojo (1990:14) teori Thondike ini disebut teori asosiasi.
Selanjutnya, Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13) mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hokum-hukum berikut: (1) Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan respon serting terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hokum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan – yang telah terbentuk akibat tejadinya asosiasi antara stimulus dan respon – dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2) Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.
Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat hamper senada dengan hokum akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus – respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negative. Penguatan positif sebagai stimulus, apabila representasinya mengiringi suatu tingkah laku yang cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan negative adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan karena cenderung menguatkan tingkah laku (Bell, 1981:151).
b. Hakikat pembelajaran Konstruktivisme
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan, (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman social, (4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.).
Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.

3. Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivistik
Fornot mengemukakan aaspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru perngertian orang itu berkembang.
Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.
Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti membrikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1), mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, funsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka. Zona of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Pengetahuan berjenjang tersebut seperti pada sekema berikut.















Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara social dalam dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog antar pribadi.dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangar kooperatif dan penataan kelas. (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.
Pengetahuan berjenjang tersebut dapat digambarkan seperti pada skema berikut:
Secara singkat teori Peaget dan Vygotsky dapat dikemukakan dalam table berikut ini.
Tabel 1 Piagetian and Vygotskyan Constructivism
Piagetian Constructivism Vygotsky Constructivism
Concept constructivism focus on individual cognitive development through co-constructed learning environments with national, decontextualized thinking as the goal of development Vygotsky, in order to understand human development, a multilevel analysis using all four levels of history must be employed: sosiocultural constructivism,
Subject of Study Focus on the development of autonomous cognitive forms within the individual, culminating in rational thought that is decentered from the individual. argued that individual development cannot be understood without reference to the interpersonal and institutional surround which situates the child
Develop-ment of cognitive forms the structure of the mind is the source of our understanding of the world.
the construction of knowledge occurs through interaction in the social world. Thus for Vygotsky the development of cognitive forms occurs by means of the dialectical relationship between the individual and the social context

Pembelajaran konstruktivistik dan pembelajaran behavioristik yang dikemukakan oleh Degeng dapat dilihat pada table-tabel berikut.
Table 2
Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang belajar dan pembelajaran.

Konstruktivistik Behavioristik
Pengtahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu. Pengetahuan adalah objektif, pasti, dan tetap , tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi.
Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna seta menghargai ketidakmenentuan. Belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar.
Si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya. Si belajar akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar itulah yang harus dipahami oleh si belajar.
Mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek, atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistic. Fungsi mind adalah menjiplak struktur pengetahuan melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan.

Table 3
Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang
Penataan Lingkungan Belajar



Konstruktivistik Behavioristik
Ketidakteraturan, ketidakpastian, kesemrawutan, Keteraturan, kepastian, ketertiban
Si belajar harus bebas. Kebebasan menjadi unsure yang esensial dalam lingkungna belajar. Si belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dahulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial. Pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.
Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah subjek yang harus memapu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar. Ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah objek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan.
Control belajar dipegang oleh si belajar. Control belajar dipegang oleh system yang berada di luar diri si belajar.

Table 4 Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang Tujuan Pembelajaran
Konstruktivistik Behavioristik
Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar (learn how to learn) Tujuan belajar ditekankan pada penambahan pengetahuan.

Tabe 5 pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang strategi pembelajaran
Konstruktivistik Behavioristik
Penyejian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan-ke-bagian.

Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan si belajar.

Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis.

Pembelajaran menekankan pada proses. Penyajian isi menekankan pada keterampilan yang terisolasi dan akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian-ke-keseluruhan.

Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat.


Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks.

Pembelajaran menekankan pada hasil

Tabe 6 Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang evaluasi

Konstruktivistik Behavioristik
Evaluasi menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam konsteks nyata.

Evaluasi yang menggali munculnya berpikir divergent, pemecahan ganda, bukan hanya satu jawaban benar

Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermkana serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata. evaluasi menekankan pad aketerampilan proses dalam kelompok. Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan ‘paper and pencil test’



Evaluasi yang menuntu satu jawaban benar. Jawaban benar menunjukkan bahwa si-belajar telah menyelesaikan tugas belajar.

Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasnaya dilakukan setelah kegiatan belajar dengan penekanan pada evaluasi individual.


4. Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik
Berdasarkan teori J. Peaget dan Vygotsky yang telah dikemukakan di atas maka pembelajaran dapat dirancang/didesain model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:
Pertama, identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview
Kedua, penyusunan program pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.
Ketiga orientasi dan elicitasi, situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topic yang akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya sehari-hari. Oengungkapan gagasan tersebut dapat memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemooh dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
Keempat, refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
Kelima, resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alas an untuk mendukung ramalannya itu. (b) konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasistasnya sebagai fasilitator dan mediator. (c) membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.
Keenam, aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara keilmuan.
Ketujuh, review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangar resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan.

5. Penutup
Berdasarkan uraian di atas maka untuk mengatasi beraneka ragam persoalan dalam pembelajaran yang semakin rumit, maka pembelajaran behavioristik yang selama ini telah digunakan selama bertahun-tahun, tampaknya tidak mampu lagi menjawab semua persoalan pembelajaran, maka perlu mencari alternatif pembelajaran yang lebih mampu mengatasi semua persoalan pembelajaran yang ada, salah satunya adalah pendekatan konstruktivistik yang telah diuraikan. Pendekatan ini menghargai perbedaan, menghargai keunikan invidu, menghargai keberagaman dalam menerima dan memaknai pengetahuan.
Alkitab seringkali menyebutkan berbagai cara Tuhan Yesus mengajar, ada khotbah di bukit, berdialog dengan para ahli taurat di dalam bait Allah pada usia 12 tahun, berjalan bersama dua orang murid ke Emaus, pada peristiwa perempuan yang melacurkan diri dan banyak lagi, semua itu merupakan pembelajaran yang merupakan perwujudan dari pembelajaran konstruktivistik. Pembelajaran yang membuat pebelajarnya membangun maknanya sendiri, bukan mentranfer makna/pengetahuan.

(Dina Gasong, Mahasiswa Teknologi Pendidikan, PPs UNJ)

Makalah Life Skil

LIFE SKILL DAN IMPLEMENTASINYA
DALAM PEMBELAJARAN BIOLOGI


1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tantangan pendidikan nasional yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dari waktu ke waktu meliputi empat hal, yaitu peningkatan: (1) pemerataan kesempatan, (2) kualitas, (3) efisiensi, dan (4) relevansi. Pengenalan pendidikan kecakapan hidup (life skill education) pada semua jenis dan jenjang pendidikan pada dasarnya didorong oleh anggapan bahwa relevansi antara pendidikan dengan kehidupan nyata kurang erat.
Kesenjangan antara keduanya dianggap lebar, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Pendidikan makin terisolasi dari kehidupan nyata sehingga, lulusan pendidikan dari berbagai jenis dan jenjang pendidikan dianggap kurang siap menghadapi kehidupan nyata. Suatu pendidikan dikatakan relevan dengan kehidupan nyata jika pendidikan tersebut sesuai dengan kehidupan nyata. Namun, pertanyaannya adalah kehidupan nyata yang mana? Sementara itu, kehidupan nyata sangat luas dimensi dan ragamnya, misalnya ada kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, kehidupan masyarakat, dan kehidupan bangsa. Kalau mengacu pada Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1998 dan Undang-Undang No.2, Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), kehidupan nyata itu menyangkut kehidupan peserta didik, kehidupan keluarga, dan kehidupan pembangunan yang meliputi berbagai sektor dan subsector (pertanian, industri, jasa, dsb.).
Kehidupan-kehidupan ini (disebut juga kepentingan) tidak selamanya sejalan satu sama lain, sehingga terjadi apa yang dikenal dengan perbedaan kepentingan antara berbagai kehidupan nyata terhadap pendidikan. Idealnya, pendidikan harus relevan dengan berbagai kehidupan nyata itu. Namun, pada akhirnya perlu diambil keputusan mengenai manakah diantara kehidupan yang akan menjadi prioritas pada suatu kurun waktu tertentu. Dalam kerangka empat strategi dasar kebijakan pendidikan, pendidikan kecakapan hidup menyangkut salah satu strategi, yaitu meningkatkan relevansi pendidikan dengan kehidupan nyata.
Pendidikan formal di sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kualitas daya pikir, daya kalbu dan daya fisik peserta didik sehingga yang bersangkutan memiliki lebih banyak pilihan dalam kehidupan, baik pilihan kesempatan untuk melanjutkan pndidikan yang lebih tinggi, pilihan kesempatan untuk bekerja maupun pilihan untuk mengembangkan dirinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, guru memberikan bekal dasar kemampuan kesanggupan dan ketrampilan kepada siswa agar mereka siap menghadapi berbagai kehidupan nyata. Telah banyak upaya yang dilakukan dalam memberikan bekal dasar kecakapan hidup, baik melalui pendidikan di keluarga, di sekolah, maupun di masyarakat.
Upaya-upaya tersebut bukan tidak berhasil sama sekali dalam meningkatkan kemampuan, kesanggupan dan keterampilan hidup lulusannya, akan tetapi kehidupan nyata yang memiliki ciri “berubah” telah menuntut guru melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk menghasilkan lulusannya yang mampu, sanggup, dan terampil untuk menghadapi tantangan hidup yang sarat kompetisi dan kolaborasi sekaligus. Mampu dalam arti lulusan memiliki kualifikasi yang dibutuhkan bagi kehidupan masa depan. Sanggup dalam arti lulusan mau, komit, bertanggung jawab dan berdedikasi menjalankan kehidupannya. Terampil dalam arti cepat, cekat, dan tepat dalam mencapai sasaran hidup yang diinginkannya.
Mengingat siswa berada dalam kehidupan nyata, maka salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah mendekatkan pendidikan (kegiatan belajar mengajar) dengan kehidupan nyata yang memiliki nilai-nilai preservative dan progresif sekaligus melalui pengintensifan dan pengefektifan pendidikan kecakapan hidup. Istilah pengintensifan dan pengefekktifan perlu digaris bawahi agar tidak salah persepsi bahwa selama ini tidak diajarkan kecakapan hidup sama sekali dan yang diajarkan adalah kecakapan untuk mati.
Kecakapan hidup sudah diajarkan, akan tetapi perlu peningkatan intensitas dan efektivitasnya, sehingga sekolah dapat menghasilkan lulusan yang mampu, sanggup, dan terampil terjun dalam kehidupan nyata nantinya. UUSPN telah mengamantkan pendidikan kecakapan hidup, yang bunyinya: “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarkatan dan kebangsaan“. Jadi, pendidikan kecakapan hidup bukanlah sesuatu yang baru dan karenanya juga bukan topik yang orisinil. Yang benar-benar baru adalah bahwa kita mulai sadar dan berpikir bahwa relevansi antara pendidikan dengan kehidupan nyata perlu ditingkatkan intensitas dan efektivitasnya.


1.2. Tujuan

1.2.1 Tujuan Pendidikan Nasional
Secara normatif, pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Undang-Undang Republik Indonesia No.2, Tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional). Berdasarkan tujuan tersebut, maka guru bertugas dan berfungsi mempersiapkan siswa agar mampu: (1) mengembangkan kehidupan sebagai pribadi, (2) mengembangkan kehidupan untuk bermasyarakat, (3) mengembangkan kehidupan untuk berbangsa, dan (4) mempesiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi. Konsekuensinya apa yang diajarkan harus menampilkan sosok utuh keempat kemampuan tersebut.
Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional sebagaimana ditulis pada butir 2.5.1. diperlukan upaya-upaya yang dapat menjembatani antara siswa dengan kehidupan nyata. Kurikulum yang ada saat ini memang merupakan salah satu upaya untuk menjembataninya, namun perlu ditingkatkan kedekatannya dengan nilai-nilai kehidupan nyata. Bila demikian, pertanyaannya adalah: “Apakah kurikulum yang ada sekarang sudah merefleksikan kehidupan nyata saat ini? Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan kajian yang mendalam terhadap kurikulum yang ada dan terhadap nilai-nilai kehidupan saat ini. Kesenjangan antara keduanya (kurikulum dan kehidupan nyata) merupakan tambahan pengayaan yang perlu diintegrasikan terhadap kurikulum yang ada sehingga kurikulum yang ada saat ini benar-benar merefleksikan nilai-nilai kehidupan nyata.
Pengenalan kecakapan hidup terhadap peserta didik bukanlah untuk mengganti kurikulum yang ada, akan tetapi untuk melakukan reorientasi terhadap kurikulum yang ada sekarang agar benar-benar merefleksikan nilai-nilai kehidupan nyata. Jadi, pendidikan kecakapan hidup merupakan upaya untuk menjembatani kesenjangan antara kurikulum yang ada dengan tuntutan kehidupan nyata yang ada saat ini, bukan untuk merombaknya. Penyesuaian-penyesuaian kurikulum terhadap tuntutan kehidupan perlu dilakukan mengingat kurikulum yang ada memang dirancang per mata pelajaran yang belum tentu sesuai dengan kehidupan nyata yang umumnya bersifat utuh (Tim Broad Based Education Depdiknas, 2002). Selain itu, kehidupan memiliki karakteristik untuk berubah, sehingga sudah sewajarnya jika kurikulum yang ada perlu didekatkan dengan kehidupan nyata. Dalam pandangan ini, maka kurikulum merupakan sasaran yang bergerak dan bukan sasaran yang diam.
Dalam arti yang sesungguhnya, pendidikan kecakapan hidup memerlukan penyesuaian-penyesuaian dari pendekatan supply-driven menuju ke demand-driven. Pada pendekatan supply-driven, apa yang diajarkan cenderung menekankan pada school-based learning yang belum tentu sepenuhnya sesuai dengan nilai-nilai kehidupan nyata yang dihadapi oleh peserla didik. Pada pendekatan demand-driven, apa yang diajarkan kepada peserta didik merupakan refleksi nilai-nilai kehidupan nyata yang dihadapinya sehingga lebih berorientasi kepada life skill-based learning.
Dengan demikian, kerangka pengembagan pendidikan berbasis kecakapan hidup idealnya ditempuh secara berurutan sebagai berikut (Slamet PH, 2002). Pertama, diidentifikasi masukan dari hasil penelitian, pilihan-pilihan nilai, dan dugaan para ahli tentang nilai-nilai kehidupan nyata yang berlaku. Kedua, masukan tersebut kemudian digunakan sebagai bahan, untuk mengembangkan kompetensi kecakapan hidup. Kompetensi kecakapan hidup yang dimaksud harus menunjukkan kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan untuk menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya dalam dunia yang sarat perubahan. Ketiga, kurikulum dikembangkan berdasarkan kompetensi kecakapan hidup yang telah dirumuskan. Artinya, apa yang harus, seharusnya, dan yang mungkin diajarkan pada peserta didik disusun berdasarkan kompetensi yang telah dikembangkan. Keempat, penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup perlu dilaksanakan dengan jitu agar kurikulum berbasis kecakapan hidup dapat dilaksanakan secara cermat. Hal-hal yang diperlukan untuk penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup seperti misalnya tenaga kependidikan (guru), pendekatan-strategi-metode pembelajaran, media pendidikan, fasilitas, tempat belajar dan durasi belajar, harus siap. Kelima, evaluasi pendidikan kecakapan hidup perlu dibuat berdasarkan kompetensi kecakapan hidup yang telah dirumuskan pada langkah kedua. Karena evaluasi belajar disusun berdasarkan kompetensi, maka penilaian terhadap prestasi belajar peserta didik tidak hanya dengan pencil and paper test, melainkan juga dengan performance test dan bahkan dengan evaluasi otentik.
Pendidikan masa depan akan menekankan pada kecakapan hidup. Diharapkan, tujuan pendidikan nasional lebih menekankan pada penguasaan kehidupan, kurikulum lebih merefleksikan kehidupan nyata, penyelenggaraannya benar-benar jitu dalam merealisasikan kurikulum berbasis kecakapan hidup yang ditunjukkan oleh guru memiliki penguasaan kehidupan yang kuat, siswa mempelajari kenyataan dan aktif, metode pembelajaran lebih konkrit, kerja tim kuat, media pendidikan menggunakan kenyataan, tempat belajar tidak harus selalu dikelas tetapi juga di kancah/kehidupan, durasi pembelajaran tergantung kompetensi yang ingin dikuasai, referensi tidak selalu berupa buku tetapi juga kehidupan nyata/konteks, pengalaman hidup akan lebih kaya, dan evaluasi belajar lebih menekankan pada autentik.

1.2.1. Tujuan Kecakapan Hidup
Seperti juga ada pengertian kecakapan hidup, tujuan pendidikan kecakapan hidup juga bervariasi sesuai kepentingan yang akan dipenuhi. Naval Air Station Antlanta (2002) menuliskan bahwa tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah: to promote family strength and growth through education; to teach concepts and principles relevant to family living, to explore personal. attitudes and values, and help members understand and accept the attitudes and values of others; to develop interpersonal skills which contribute to family well-being; to reduce mariage and family conflict and theeby enhance service member productivity; and to encourage on-base delivery of family education program and referral as appropriate to community programs.”i appropriate to community programs.
Sementara itu, Tim Broad-Based Education Depdiknas (2002) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah untuk: (1) mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi, (2) memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas, dan (3) mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lingkungan sekolah, dengan member peluang pemanfaatan sumber daya yang ada di masyaakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
Meskipun bervariasi dalam menyatakan tujuan pendidikan kecakapan hidup, namun konvergensinya cukup jelas yaitu bahwa tujuan utama pendidikan kecakapan hidup adalah menyiapkan peserta didik agar yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya di masa datang. Esensi dari pendidikan kecakapan hidup adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan nilai-nilai kehidupan nyata, baik preservatif maupun progresif. Lebih spesifiknya, tujuan pendidikan kecakapan hidup dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, memberdayakan aset kualitas batiniyah, sikap, dan perbuatan lahiriyah peserta didik melalui pengenalan (logos), penghayatan (etos), dan pengamalan (patos) nilai-nilai kehidupan sehari-hari sehingga dapat digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya. Kedua, memberikan wawasan yang luas tentang pengembangan karir, yang dimulai dari pengenalan diri, eksplorasi karir; orientasi karir, dan penyiapan karir. Ketiga, memberikan bekal dasar dan latihan-latihan yang dilakukan secara benar mengenai nilai-nilai kehidupan sehari-hari yang dapat memampukan peserta didik untuk berfungsi menghadapi kehidupan masa depan yang sarat kompetisi dan kolaborasi sekaligus. Keempat, mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya sekolah melalui pendekatan manajemen berbasis sekolah dengan mendorong peningkatan kemandirian sekolah, partisipasi stakeholders, dan fleksibilitas pengelolaan sumber daya sekolah. Kelima, memfasilitasi peserta didik dalam memecahkan permasalahan kehidupan yang dihadapi sehari-hari, misalnya kesehatan mental dan pisik, kemiskinan, kriminal, pengangguran, lingkungan sosial dan pisik, narkoba, kekerasan, dan kemajuan iptek.

1. 3. Hasil yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dari pendidikan kecakapan hidup pada PS dan PLS adalah sebagai berikut. Pertama, peserta didik memiliki asset kualitas batiniyah, sikap,dan perbuatan lahiriyah yang siap untuk menghadapi kehidupan masa depan sehingga yang bersangkutan mampu dan sanggup menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya. Kedua, peserta didik memiliki wawasan luas tentang pengembangan. Karir dalam dunia kerja yang sarat perubahan yaitu yang mampu memilih, memasuki, bersaing, dan maju dalam karir. Ketiga, peserta didik memiliki kemampuan berlatih untuk hidup dengan cara yang benar, yang memungkinan peserta didik berlatih tanpa bimbingan lagi. Keempat, peserta didik memiliki tingkat kemandirian, keterbukaan, kerjasama, dan akuntabilitas yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya. Kelima, peserta didik memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk mengatasi berbagai permasalahan hidup yang dihadapi.

1. 4. Manfaat
Pendidikan kecakapan hidup memberikan manfaat pribadi peserta didik dan manfaat sosial bagi masyarakat. Bagi peserta didik, pendidikan kecakapan hidup dapat meningkatkan kualitas berpikir, k ualitas kalbu, dan kualitas fisik. Peningkatan kualitas tersebut pada gilirannya akan dapat meningkatkan pilihan-pilihan dalam kehidupan individu, misalnya karir, penghasilan, pengaruh, prestise, kesehatan jasmani dan rohani, peluang, pengembangan diri, kemampuan kompetitif, dan kesejahteraan pribadi.
Bagi masyarakat, pendidikan kecakapan hidup dapat meningkatkan kehidupan yang maju dan madani dengan indikator-indikator adanya: peningkatan kesejahteraan sosial, pengurangan perilaku destruksif sehingga dapat mereduksi masalah-masalah sosial, dan pengembangan masyarakat yang secara harmonis mampun memadukan nilai-nilai religi, teori, solidaritas, ekonomi, kuasa dan seni (cita rasa).

2. KAJIAN TEORI

2. 1. Pengertian “Life Skill” (Kecakapan Hidup)

Kata cakap memiliki beberapa arti. Pertama dapat diartikan sebagai pandai atau mahir, kedua sebagai sanggup, dapat atau mampu melakukan sesuatu, dan ketiga sebagai mempunyai kemampuan dan kepandaian untuk mengerjakan sesuatu. Jadi kata kecakapan berarti suatu kepandaian, kemahiran, kesanggupan atau kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menyelesaikan sesuatu. Oleh karena itu kecakapan untuk hidup ('life skills') dapat didefinisikan sebagai suatu kepandaian, kemahiran, kesanggupan atau kemampuan yang ada pada diri seseorang untuk menempuh perjalanan hidup atau untuk menjalani kehidupan, mulai dari masa kanak-kanak sampai dengan akhir hayatnya.
Meskipun kecakapan hidup telah didefinisikan berbeda-beda, namun esensi pengertiannya sama. Brolin (l989) mendefinisikan kecakapan hidup sebagai kontinum pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan oleh seseorang untuk berfungsi secara independen dalam kehidupan. Pendapat lain mengatakan bahwa kecakapan hidup adalah kecakapan sehari-hari yang diperlukan oleh seseorang agar sukses dalam menjalankan kehidupan (http://www.lifeskills-stl.org/page2.html) Malik Fajar (2002) mendefinisikan kecakapan hidup sebagai kecakapan untuk bekerja selain kecakapan untuk berorientasi ke jalur akademik. Sementara itu Tim Broad-Based Education (2002) menafsirkan kecakapan hidup sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya.
Meskipun terdapat perbedaan dalam pengertian kecakapan hidup, namun esensinya sama yaitu bahwa kecakapan hidup adalah kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk menjalankan kehidupan dengan nikmat dan bahagia. Oleh karena itu, pendidikan kecakapan hidup adalah, pendidikan yang member bekal dasar dan latihan yang dilakukan secara benar kepada peserta didik tentang nilai-nilai kehidupan sehari-hari agar yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjalankan kehidupannya, yaitu dapat menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya. Dengan definisi tersebut, maka pendidikan kecakapan hidup harus merefleksikan nilai-nilai kehidupan nyata sehari-hari, baik yang bersifat preservative maupun progresif. Pendidikan perlu diupayakan relevansinya dengan nilai-nilai kehidupan nyata sehari-hari.
Dengan cara ini, pendidikan akan lebih realistis, lebih kontekstual. Tidak akan mencabut peserta didik dari akarnya, sehingga pendidikan akan lebih bermakna bagi peserta didik dan akan tumbuh subur. Seseorang dikatakan memiliki kecakapan hidup apabila yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjalankan kehidupan dengan nikmat dan bahagia. Kehidupan yang dimaksud meliputi kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, kehidupan tetangga, kehidupan perusahaan, kehidupan masyarakat, kehidupan bangsa, dan kehidupan-kehidupan lainnya. Ciri kehidupan adalah perubahan dan perubahan selalu menuntut kecakapan-kecakapan untuk menghadapinya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jikpa PS dan PLS mengajarkan kecakapan hidup.

2.2 Perjalanan Hidup.
Keberadaan seseorang di dunia ini memerlukan dimensi ruang dan dimensi waktu. Setiap orang memerlukan ruang untuk tempat wujud sosok fisiknya itu, karena dia sebelumnya tidak ada, kemudian ada (dilahirkan) dan akhirnya tidak ada lagi (meninggal dunia). Dia berada di salah satu tempat di planet bumi ini untuk berpijak, lalu tumbuh raganya dan berkembang sukma atau roh beserta potensinya untuk melangkahkan kaki menempuh perjalanan hidup sampai akhir hayatnya.
Perjalanan hidup seseorang siapapun dia pasti dan selalu diawali dengan kelahiran dan diakhiri dengan kematian. Di samping emerlukan ruang, keberadaan seseorang juga memerlukan waktu, karena dia berada dalam kurun waktu tertentu selama batas jatah usianya. Batas jatah usia (kamatian) seseorang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Ada yang meninggal ketika masih bayi, ada yang pada masa kanak-kanak, ada yang pada masa remaja, ada yang setelah dewasa, ada yang setelah masa tua, dan ada pula yang setelah sangat renta.
Dalam perjalanan hidupnya sejak dia dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, dimensi waktu yang dilalui oleh sesorang pada saat ini senantiasa terdiri atas dimensi masa lalu, dimensi masa kini dan dimensi masa depan. Dimensi masa lalu merupakan sejarah pengalaman yang menjadi pelajaran untuk manjalani hidup pada masa kini, dan kehidupan masa kini dijalani untuk mempersiapkan masa depan generasi penerusnya.
Masa yang telah lalu disebut juga hari kemarin, dan masa kini atau waktu sekarang dikenal sebagai hari ini, sedangkan masa yang akan datang atau masa depan biasa disebut hari esok. Orang Inggris menamakannnya sebagai 'yesterday, today and tomorrow'. Pada kehidupan suatu masyarakat atau suatu bangsa, demikian pula pada kehidupan umat manusia berlaku pula dimensi ruang dan waktu yang serupa.
Oleh karena itu berdasarkan hasil belajar dari pengalaman hidup hari kemarin, hidup pada hari ini pada hakikatnya adalah mempersiapkan untuk menghadapi hari esok yang diperlukan bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi generasi keturunannya, bagi masyarakatnya, bagi bangsanya, dan juga bagi umat manusia secara keselunihan. Bagi para pemeluk agama yang percaya penuh terhadap kehidupan setelah mati, dalam mempersiapkan diri untuk hari esok, usaha seseorang tidak berhenti hanya untuk memenuhi keperluan hidupnya sampai dengan ia meninggal dunia. Persiapan tersebut juga dilakukan untuk memenuhi keseriuan perjalanan hidupnya setelah mati, yaitu setelah sukmanya terlepas dari raganya.
Persiapan itu terwujud antara lain dalam berbagai upaya untuk senantiasa berbuat baik, beramal salih, mengerjakan sesuatu dengan ihklas, berbuat jujur, beramal jariah dan sejenisnya semata-mata untuk mendapatkan ridho dari Tuhan, sebagai persediaan atau bekal yang terbaik demi keselamatan dan ketenteraman hidupnya kelak di akhirat, yaitu masa yang abadi di alam baka, di suatu tempat yang paling aman dan darnai yang benar-benar dapat membahagiakan bagi kehidupan rohnya.
Untuk mampu menjalani kehidupannya, sejak dilahirkan setiap orang telah dibekali dengan berbagai potensi untuk dapat mengenali teka-teki misteri tentang dirinya. Pengenalan ini dicapainya melalui daya fisiknya, melalui daya fikirnya, melalui daya emosionalnya dan melalui daya spiritualnya yang menyatu menjadi daya kalbu untuk melakukan dialog dan kemudian berkarya sesuai dengan aturan Tuhan, yaitu Sang Penciptanya.

2. 3 Potensi Life Skill
Dalam menciptakan manusia untuk menjadi khalifahNya di planet bumi ini,Tuhan telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk mencukupi keperluan khalifahNya itu sejak masih berwujud benih janin di dalam rahim ibunya. Persiapan itu mencakup penyediaan berbagai bentuk pelayanan dan kemudahan yang berada di dalam dan di luar diri manusia. Penciptaan manusia merupakan wujud sosok diri yang final, utuh dan unik sebagai suatu sistem yang sempurna, tidak ada kekurangan sesuatu apa pun padanya. Hal ini dapat dianalogikan dengan potensi pada mahluk hidup lainnya yang diciptakan oleh Tuhan, antara lain misalnya potensi untuk hidup di air bagi ikan, potensi untuk terbang bagi burung, potensi untuk berkoloni bagi lebah, potensi untuk melata dan berpuasa bagi ular.
Subsistem-subsistem pendukung keberadaan manusia juga diciptakan dengan sangat sempurna, baik untuk keperluan pertumbuhan fisiknya maupun untuk perkembangan sukma atau rohnya. Demikian juga pelayanan dan kemudahan-kemudahan yang berada di luar dirinya yaitu lingkungan yang harus diakrabi selama hidupnya, semua telah disiapkan dengan sangat sempuma.
Potensi kecakapan untuk menempuh perjalanan hidup bagi seseorang merupakan bawaan yang telah melekat pada dirinya sejak dia tercipta. Kesernuanya itu disediakan sebagai potensi yang perlu dikembangkan lebih lanjut oleh orang tua, mayarakat, negara dan bangsa. Upaya yang secara sadar dilakukan untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada pada diri pribadi setiap orang agar mampu menjalani kehidupan dikenal dengan nama mendidik. Mendidik yang dilakukan oleh keluarga atau masyarakat secara alamiah disebut sebagai pendidikan informal. Sedangkan pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa secara bersistem melalui sekolah disebut sebagai pendidikan formal.
Tugas orang tua dan masyarakat adalah mengembangkan potensi itu melalui pendidikan informal yang dilakukan dengan ikhlas sebagai ungkapan terima kasih kepada Sang Pencipta. Dalam bahasa yang religius kegiatan ini merupakan wujud dari rasa syukur karena telah dikaruniai keturunan yang diharapkan akan dapat meneruskan kehidupan dan generasi terdahulu kepada generasi berikutnya. Negara dan bangsa sebagai kesatuan keluarga dan masyarakat mewujudkan rasa syukur itu dengan menciptakan suatu sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik negara dan bangsanya.
Oleh karena itu negara dan bangsa menciptakan sekolah sebagai tempat untuk mengembangkan potensi kecakapan untuk hidup (life skills) anak-anak bangsanya dengan cara yang lebih sistematis dan terarah melalui pendidikan formal. Dan tugas sekolah sebagai subsistem pendidikan adalah melaksanakan pendidikan formal untuk mengembangkan potensi kecakapan untuk hidup, sejajar bersama-sama dengan bangsa-bangsa lain. Proses dan hasil dari kedua jenis pendidikan ini saling mendukung dan memperkuat antara yang satu dengan yang lainnya.


2.4. Pengembangan “Life Skill”
Seperti diuraikan di atas, potensi untuk dapat mengembangkan kecakapan untuk hidup ini telah ada pada setiap orang sejak ia dilahirkan. Waktu yang diperlukan untuk mengembangkan potensi pada manusia relatif lebih lama dan pada waktu yang diperlukan oleh binatang, karena pada binatang lebih didominasi oleh naluri biologis. Sedangkan pada manusia di samping pengembangan naluri biologis masih diperlukan waktu persiapan yang lebih panjang untuk mengembangkan daya fisik, daya fikir, daya emosi dan daya spiritual yang terpadu menjadi daya kalbu.
Kemampuan kecakapan untuk menjalani kehidupan ini pada awalnya berkembang secara alamiah melalui pendidikan informal pada keluarga dan masyarakat. Kemudian secara formal upaya untuk mengembangkan dan memperkuat potensi yang telah ada ini dirancang dengan sistematis ke dalam suatu kurikulum untuk diberikan kepada anak didik melalui pendidikan di sekolah dengan alokasi waktu jam pelajaran tertentu pada setiap minggu, mulai dari Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Menengah, sampai dengan Perguruan Tinggi.
Berdasarkan hasil pendidikan informal yang diterima, hasil pengalaman yang diperoleh dan hasil pendidikan formal yang pemah diikuti dengan benar, selama menempuh perjalanan hidup seseorang temyata, bahwa kemampuan kecakapan untuk hidup ini dapat berkembang terus menjadi semakin kuat dan meningkat dalam kearifannya untuk mengarungi samudera kehidupan. Kemajuan ini masih dapat diupayakan untuk meningkat lagi dan akan menampakkan wujudnya dengan sesuatu yang disebut dengan mutu. Dan pengalaman-pengalaman baru yang diperoleh dalam memecahkan berbagai masalah selama mengarungi kehidupan ini akan dapat menempa dan memperkuat kemampuan itu sehingga menjadi suatu mutu kehidupan untuk menghadapi berbagai persoalan kehidupan yang lebih sulit dan semakin rumit.
Mutu kehidupan itu pun masih dapat ditingkatkan lagi sampai ke puncaknya. Tingkat kemampuan kecakapan untuk hidup yang tertinggi adalah apabila dalam menempuh perjalanan hidup itu sendiri selalu dilandasi dengan rasa kasih sayang yang tulus kepada sesama. Lalu dijalani dan dihayati dengan penuh kepasrahan dan tawakkal untuk mengikuti aturan Sang Pencipta, dengan cara yang apa adanya, cara yang santun, cara yang ikhlas dan cara yang indah, sebagai suatu seni hidup yang disebut 'The Art of Life*.


2. 5 Pendidikan “Life Skill”
Dalam hampir semua kegiatan untuk menjalani kehidupan, persoalan sehari-hari yang dihadapi oleh seseorang pada urnumnya berkisar pada empat persoalan besar yang sangat mendasar sebagai persoalan utama. Keempat persoalan besar itu adalah: pertama persoalan yang berkaitan dengan dirinya sendiri, kedua persoalan yang berkaitan dengan keberadaannya bersama-sama dengan orang lain, ketiga persoalan yang berkaitan dengan keberadaannya di suatu lingkungan alam tertentu, dan keempat persoalan yang berkaitan dengan pekerjaannya, baik yang berkaitan dengan pekerjaan utama yang ditekuni sebagai mata pencaharian maupun pekerjaan yang hanya sekadar sebagai hobi.
Agar dapat menghadapi keempat persoalan utama tersebut dengan sebaik-baiknya, diperlukan adanya suatu kecakapan khusus yang minimal harus dapat dikuasai oleh seseorang. Untuk mempersiapkan hal itu secara dini, pada dasarnya perlu diupayakan dengan baik, sekurang-kurangnya empat jenis pendidikan kecakapan untuk hidup yang (Life Skills Education) yang harus dibekalkan kepada para siswa.
Keempat jenis pendidikan kecakapan yang perlu diberikan untuk mempersiapkan anak didik agar dapat memiliki kemampuan untuk menjalani kehidupan atau kemampuan untuk menempuh perjalanan hidup itu, baik melalui pendidikan informal di dalam keluarga dan masyarakat, maupun melalui pendidikan formal di sekolah hendaknya mencakup: 'personal skills education', 'social skills education', 'environmental skills education', dan 'vocational atau occupational skills education'.
a, 'Personal Skills Education'
adalah pendidikan kecakapan yang perlu diberikan kepada anak didik agar dapat mengembangkan kemampuan berdialog secara baik dengan diri sendiri untuk mengaktualisasikan jati-dirinya sebagai manusia yang menjadi khalifah atau wakil Sang Pencipta di planet bumi ini.
b. 'Social Skills Education'
adalah pendidikan kecakapan yang perlu diberikan kepada anak didik agar dapat mengembangkan kemampuan berdialog untuk bergaul secara baik dengan sesama manusia.
c. 'Environmental Skills Education'
adalah pendidikan kecakapan yang perlu diberikan kepada anak didik agar dapat mengembangkan kemampuan berdialog secara baik dengan lingkungan alam sekitamya, untuk menikmati keindahannya dan menjaganya dari kerusakan-kerusakan karena ulahnya sendiri atau oleh manusia lainnya, serta kemampuan untuk menjaga diri dari pengaruh-pengaruhnya.
d. 'Vocational atau Occupational Skills Education'
adalah pendidikan kecakapan yang perlu diberikan kepada anak didik agar dapat mengembangkan kemampuan untuk menguasai dan menyenangi jenis pekerjaan tertentu. Jenis pekerjaan tertentu ini bukan hanya merupakan pekerjaan utama yang akan ditekum sebagai mata pencaharian,yaitu menjadi bekal untuk bekerja mencari nafkah yang halal yang merupakan salah satu kewajiban dalam menempuh perjalanan hidupnya di kelak kemudian hari. Jenis pekerjaan tertentu dapat juga merupakan pekerjaan yang hanya sekadar sebagai hobi.








Gambar 2.1 Diagram Klasifikasi Life Skills







2. 6. Jenis Kecakapan Hidup
Kehidupan adalah perubahan. Siswa akan menjalani kehidupan, yang berarti mereka harus mampu dan sanggup menghadapi, perubahan dan bahkan mampu dan sanggup menjadi agent of change. Perubahan ada yang tidak diinginkan dan ada yang diinginkan. Perubahan, yang tidak diinginkan akan mengusik kelangsungan hidup manusia, dan perubahan yang diinginkan akan mendukung perkembangan manusia. Agar mampu, sanggup, dan terampil menjalan kehidupan, mereka harus diberi bekal kecakapan hidup.
Menurut Slamet PH (1997), kecakapan hidup dapat dikategorikan menurut kualitas fisik, akal, kalbu, dan spiritual: (1) kecakapan fisik dapat diukur dari derajad keterampilan, (2) kecakapan akal dapat diukur dari kecerdasan dan variasi daya fikirnya (deduktif, induktif, ilmiah, nalar, rasional, kritis, kreatif, lateral, discovery, exploratory, dan sistem), (3) kecakapan kalbu dapat diukur dari daya rasanya dan daya emosinya (rasa kasih saying, kesopanan, toleransi, kejujuran, disiplin diri, komitmen, dan integritas, dan (4) kecakapan spiritual ditunjukkan oleh derajad keimanan dan ketaqwaan terhadap TuhanYang Maha Esa.
Menurut US Department of Labor (1992), peserta didik harus diberi bekal kecakapan hidup yang terdiri dari lima kompetensi (kemampuan mengelola sumber daya, kemampuan inter personal, kemampuan mencari dan menggunakan informasi, kemampuan menggunakan sistem, dan kemampuan rnenggunakan teknologi dalam kehidupan) dan tiga bagian kemampuan elementer (kecakapan elementer dalam baca, tulis, hitung, bicara, mendengar; kecakapan berfikir; dan kualitas personal).
Kemudian, the National Training Board (1992) dari Australia mengharuskan agar setiap generasi mudanya memiliki tujuh kompetensi kunci sebagai berikut: collecting, analysing and organising information; communicating ideas and information; planning and organising activities, working with others and in team; using mathematical ideas and techniques; solving problems; and using technology. Sementara itu, United Kingdom melalui General National Vocational Qualification (1993) mengharuskan bahwa setiap penduduknya harus memiliki core skills sebagai berikut: communication, personal skills, problem solving, information technology, and modern language. New Zealand (l994) juga menghendaki semua generasi muda memiliki essential skills sebagai berikut: information skills, communication skills, self-management skills, work and study skills, numeracy skills, problem solving and decision-making skills.
Tim Broad-Based Education Depdiknas (2002) memilah kecakapan hidup menjadi lima, yaitu kecakapan personal, kecakapan berfikir rasional, kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan kejuruan. Kecakapan personal terlalu sempit definisinya karena hanya difokuskan pada pengenalan diri (self awareness). Padahal kecakapan personal sangat luas dimensinya.
Demikian juga, kecakapan berpikir hanya disempitkan pada berpikir rasional, padahal kecakapan berpikir sangat luas dimensinya, misalnya kecakapan berpikir deduktif induktif, ilmiah, kritis, kreatif, nalar/logik, lateral, discovery, exploratory, dan sistem. Kemudian makna kecakapan akademik juga rancu karena yang dimaksud kecakapan akademik (oleh Tim Broad-Based Education) adalah kecakapan berpikir ilmiah. Tidak jelas perbedaan antara kecakapan berpikir rasional (thinking skill) dan kecakapan berpikir akademik.
Berdasarkan wacana-wacana tersebut maka terdapat juga yang merumuskan kecakapan hidup menjadi dua kategori, yaitu kecakapan hidup yang bersifat dasar dan instrumental. Kecakapan hidup yang bersifat dasar adalah kecakapan yang bersifat universal dan berlaku sepanjang zaman, tidak tergantung pada perubahan waktu dan ruang, dan merupakan fondasi dan sokoguru bagi siswa agar bisa mengembangkan kecakapan hidup yang bersifat instrumental. Kecakapan hidup yang bersifat instrumental adalah kecakapan yang bersifat relatif kondisional, dan dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan ruang, waktu, situasi, dan harus diperbaharuhi secara terus menerus sesuai dengan derap perubahan.
Mengingat perubahan kehidupan berlangsung secara terus menerus, maka diperlukan kecakapan-kecakapan yang mutakhir, adaptif dan antisipatif. Oleh karena itu, prinsip belajar sekali selesai dan tidak perlu beiajar lagi. tidak relevan lagi. Siswa selain harus belajar sesuatu yang baru (learning), harus juga mampu melupakan pengalaman belajar yang lalu yang tidak lagi relevan lagi dengan kehidupan saat ini (unlearning) dan selalu belajar kembali (relearning).
Adapun kategori dimensi kecakapan hidup yang bersifat dasar dan instrumental yang dimaksud dapat dirinci sebagai berikut :

A. Kecakapan Dasar
l) Kecakapan belajar terus-menerus
Kecakapan belajar terus menerus (sepanjang hayat) adalah kecakapan yang paling penting dibandingkan dengan semua kecakapan hidup lainnya. Pengetahuan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kehidupan berubah makin cepat sehingga menuntut siswa memiliki kemampuan untuk belajar terus-menerus. Kecakapan ini merupakan kunci yang dapat membuka kesuksesan masa depan. Dengan kecakapan ini, siswa mudah menguasai kecakapan-kecakapan lainnya. Karena itu, siswa perlu diberi bekal dasar tentang strategi, metode, dan teknik belajar untuk memperoleh dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi baru dalam kehidupannya.

2) Kecakapan membaca, menulis, menghitung
Siswa diharapkan memiliki kecakapan membaca dan menulis secara fungsional, baik dalam bahasa Indonesia maupun salah satu bahasa asing, misalnya bahasa Inggris, Jerman, Perancis, Arab, Jepang, Mandarin, atau yang lain. Kecakapan membaca- memahami dan menafsirkan informasi tertulis dalam surat kabar, majalah, jurnal, dan dokumen. Menulis – mengkomunikasikan pikiran, ide-ide, informasi dan pesan-pesan tertulis dan membuat dokumen-dokumen seperti surat, arahan, bimbingan, pedoman kerja, manual, laporan, grafik, dan diagram alir. Kecakapan menghitung – kemampuan dasar menghitung dan memecahkan masalah-masalah praktis, dengan memilih secara tepat dari teknik-teknik matematika yang ada, dengan atau tanpa bantuan teknologi.

3) Kecakapan berkomunikasil lisan, tertulis, tergambar, mendengar
Manusia berinteraksi dengan manusia lain melalui komunikasi langsung, baik secara lisan, tertulis, tergambar, dan bahkan melalui kesan pun bisa. Mengingat manusia menggunakan sebagian besar waktunya untuk berkomunikasi dengan orang lain, maka kecakapan berkomunikasi termasuk kecakapan mendengar harus dimiliki oleh siswa. Suatu studi menyimpulkan bahwa kelemahan berkomunikasi akan menghambat pengembangan personal dan professional seseorang. Bahkan para pebisnis memperkirakan bahwa kelemahan berkomunikasi akan menambah pembiayaan usahanya akibat kesalahan yang dibuat. Mengingat era globalisasi telah bergulir, maka penguasaan salah satu bahasa asing (Inggris, Perancis, Arab, Jepang, J erman, Mandarin, dsb) oleh peserta didik merupakan keniscayaan.

4) Kecakapan berpikir
Tingkat kecakapan berpikir seseorang akan berpengaruh terhadap kesuksesan hidupnya. Mengingat kehidupan manusia sebagian besar dipengaruhi oleh cara berpikir, maka peserta didik perlu diberi bekal dasar dan latihan-latihan dengan cara yang benar tentang kecakapan berpikir deduktif induktil ilmiah, kritis, nalar, rasional, lateral, sistem, kreatif, eksploratif, discovery, inventory, reasoning, pengambilan keputusan, dan pemecahan masalah. Selain itu, peserta didik harus diberi bekal dasar tentang kecintaan terhadap kebenaran, keterbukaan terhadap kritik dan saran, dan berorientasi kedepan.

5) Kecakapan kalbu: iman (spiritual), rasa dan emosi
Memiliki bangsa kecakapan kalbu yang baik merupakan asset kualitas batiniyah yang sangat bermanfaat bagi kehidupan bangsa. Kecakapan kalbu yang terdiri dari iman (spiritual), rasa, dan emosi merupakan unsur-unsur pembetuk jiwa selain akal. Pada dasarnya jiwa merupakan peleburan iman, rasa, emosi, dan akal. Jiwa merupakan sumber kekuatan dan kendali bagi setiap manusia dalam menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi. Bahkan, baik buruknya suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh baik buruknya kalbu bangsa yang bersangkutan. Erosi kalbu akan berpengaruh sangat dahsyat karena apapun tingginya derajad berpikir seseorang, tetapi jika tidak dilandasi oleh moral, spiritual dan emosional yang baik, hanya kehancuran yang terjadi.
Untuk itu peserta didik perlu diberi bekal dasar dan latihan-latihan dengan eara yang benar tentang kecakapan moral, emosional dan spiritual. Integritas, kejujuran, solidaritas, kasih sayang pada orang lain, kesopanan, disiplin diri, menghargai orang lain, hak asasi, kepedulian, toleransi, dan tanggung jawab adalah contoh-contoh kecakapan moral yang perlu diajarkan kepada peserta didik. Iman dan Taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kedamaian antar umat beragama, dan toleransi religius, adalah contoh-contoh pendidikan kecakapan iman/spiritual yang merupakan payung bagi pendidikan kecakapan hidup lainnya. Bekerja keras, semangat yang membaja, pintar bergaul, rajin, memiliki keinginan untuk maju, dan upaya-upaya secara konsisten untuk mencapai keinginan untuk maju, adalah contoh-contoh kecakapan emosional yang sangat signifikan kontribusinya terhadap kesuksesan hidup seseorang.
6) Kecakapan mengelola kesehatan badan
Di mana terdapat kesehatan badan, disitulah terdapat kesehatan jiwa. Manusia diciptakan oleh-Nya dengan martabat tertinggi sehingga yang bersangkutan harus memelihara kesehatan dirinya lebih baik dari pada memelihara barang-barangnya. Oleh karena itu, peserta didik sudah selayaknya diberi bekal dasar tentang pengelolaan kesehatan badan agar yang bersangkutan memiliki kesehatan badan yang prima, bebas penyakit, dan memiliki ketahanan badan yang kuat. Berolahraga secara teratur, makan yang bergizi dan bervitamin, menjaga kebersihan, dan beristirahat cukup merupakan pendidikan kecakapan mengelola kesehatan badan yang harus diterapkan dalam kehidupan peserta didik.

7) Kecakapan merumuskan keinginan dan upaya-upaya untuk mencapainya
Dua hal yang karakteristik sifatnya dalam kehidupan adalah: (l) adanya keinginan baru, dan (2) upaya-upaya yang diperlukan untuk mencapai keinginan baru tersebut. Kecakapan merumuskan dua hal yang karakteristik ini merupakan bagian penting bagi kehidupan seseorang. Dalam kehidupan banyak dijumpai orang-orang yang kurang mampu merumuskan tujuan hidup yang realistik, dan kalaupun tujuan yang dirumuskan cukup realistic, tidak jarang pula upaya-upaya yang ditempuh kurangs esuai.
Kecakapan semacam ini perlu diajarkan kepada peserta didik agar yang bersangkutan mampu menjalani kehidupan secara realistis. Perumusan tujuan study tour dan upaya-upaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan study tour adalah contoh pendidikan kecakapan merumuskan keinginan dan upaya-upaya untuk mencapainya.

8) Kecakapan berkeluarga dan sosial
Peserta didik hidup dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dalam keluarga, siswa tersebut berinteraksi dengan ayah, ibu, dan saudara-saudaranya. Peserta didik harus memahami, menghayati, dan menerapkan nilai-nilai kasih sayang, kesopanan, toleransi, kedamaian, keadilan, respek, kecintaan, solidaritas, dan tatakrama sebagai anak terhadap kedua orang tuanya maupun sebagai saudara terhadap saudara-saudaranya. Dalam sekolah, peserta didik harus memahami, menghayati; dan menerapkan ketentuan-ketentuan yang berlaku di sekolah.
Dalam masyarakat, peserta didik harus memahami, menghayati dan menerapkan nilai-nilai sosial sebagai berikut: menjunjung tinggi hak asasi manusia, peduli terhadap barang-barang milik publik, kerjasama, tanggung jawab dan akuntabilitas sosial, keterbukaan dan apresiasi terhadap keanekaragaman. Peserta didik harus mampu berkomunikasi, baik secara verbal maupun non-verbal. Kelancaran berkomunikasi, selain memperbanyak kawan, juga untuk memupuk kesehatan mental. Karena peserta didik hidup dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan, maka dia harus memiliki kemampuan untuk memimpin dan dipimpin.




B. Kecakapan Instrumental
Kecakapan instrumental meliputi:

1) Kecakapan memanfaatkan teknologi dalam kehidupan
Teknologi telah merambah ke segala kehidupan dan merupakan alat penggerak utama kehidupan. Bahkan keunggulan teknologi merupakan salah satu faktor daya saing yang ampuh. Salah satu faktor yang membuat negara berkembang tertinggal dengan negara maju adalah ketertinggalan teknologi. Generasi muda harus diberi bekal agar mengapresiasi pentingnya teknologi bagi kehidupan dan mempersiapkannya untuk mempelajari dan mengembangkan teknologi yang ada.
Mereka harus dididik bagaimana bekerja dengan jenis-jenis teknologi dan disiapkan agar mereka memiliki kemampuan memanfaatkan teknologi dalam berbagai kehidupan (pertanian, perikanan, peternakan, kerajinan, kerumahtanggan, kesehatan, komunikasii, industry manufaktur, perdagangan, kesenian, pertunujukan, olah raga, konstruksi, transportasi, dan perbankan). Peserta didik perlu dibekali cara-cara memilih teknologi, menggunakannya untuk tugas-tugas tertentu dan cara-cara memeliharanya.

2) Kecakapan mengelola sumber daya
Peserta didik perlu diberi bekal tentang arti, tujuan dan cara-cara mengidentifikasi, mengorganisasi, merencanakan, dan mengalokasikan sumber daya. Lebih spesifiknya, siswa perlu dilatih: (1) mengelola sumber daya alam; (2) mengelola waktu; (3) mengelola uang, dengan melatih mereka membuat rencana teknis dan anggaran, penggunaannya, dan membuat penyesuaian-penyasuaian untuk mencapai tujuan; (4) mengelola sumber daya ruang, (5) mengelola sumber daya sosial budaya, (6) mengelola peralatan dan perlengkapan, dan (7) mengelola lingkungan.

3) Kecakapan bekerjasama dengan orang lain
Kehidupan, baik perusahaan, bank, pendidikan, maupun yang lain, yang akan dimasuki oleh tamatan PS dan PLS kelak pada umumnya bersifat kolektif. Tamatan PS dan PLS hanyalah merupakan bagian dari kehidupan tersebut. Mereka nantinya harus bisa bekerjasama secara harmonis dengan orang lain. Karena itu, sejak dini mereka perlu diberi bekal dan latihan: latihan yang dilakukan secara benar tentang cara-cara bekerja sama, menghargai hak asasi orang lain, pentingnya kebersamaan, tanggung jawab dan akuntabilitas perbuatan, keterbukaan, apresiasi keanekaragaman, kemauan baik yang kreatif, kepemimpinan, manajemen negosiasi, dan masih banyak hal-hal lain yang perlu diajarkan.

4) Kecakapan memanfaatkan informasi
Saat ini dan lebih-lebih di masa mendatang, informasi akan mengalir secara cepat dan deras dalam berbagai kehidupan. Siapa yang tertinggal inforrnasi akan tertinggal pula dalam kehidupannya. Jadi, informasi sudah merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada kehidupan seseorang. Untuk itu, peserta didik perlu dibekali cara-cara mendapatkan dan memanfaatkan aneka ragam informasi yang ada. Mereka harus dididik cara-cara mendapatkan dan mengevaluasi inforrnasi, mengorganisasi dan memelihara informasi, menafsirkan dan mengkomunikasikan informasi, dan menggunakan computer untuk mengolah data agar menjadi informasi.

5) Kecakapan menggunakan system dalam kehidupan
Kehidupan diciptakan oleh-Nya dalam serba sistem. Oleh karenanya, jika ingin mengenali hakikat (kebenaran seutuhnya) segala yang ada dalam kehidupan, harus mengenali sampai pada sistemnya. Mengenali sampai pada sistemnya ditempuh melalui perbuatan berpikir sistem. Berpikir system adalah berpikir membangun keberadaan hal menurut kriteria sistem. Sistem adalah kumpulan proses berstruktur hirarkis yang terikat pada tujuan.
Peserta didik perlu memahami, menghayati, dan menerapkan system dalam kehidupannya. Mereka perlu diberi bekal dasar tentang cara berpikir, cara mengelola, dan cara menganalisis kehidupan sebagai sistem. Mereka harus memahami cara kerja system-sistem kehidupan seperti misalnya bank, perusahaan, sekolah, pertanian, peternakan, dan keluarga. Bahkan dirinya sebagai system harus dikenalinya secara baik.

6) Kecakapan berwirausaha
Kecakapan berwirausaha adalah kecakapan memobilisasi sumber daya yang ada di sekitarnya untuk mencapai tujuan organisasinya atau untuk keuntungan ekonomi. Seringkali istilah kewirausahaan dikaitkan dengan income generating activities (IGA). Memang kewirausahaan terkait dengan IGA, tetapi kewirausahaan tidak sama dengan IGA. Jika IGA memiliki ciri untuk mencari keuntungan ekonomi, kewirausahaan tidak selalu. Kewirausahaan memiliki ciri-ciri: (1) bersikap dan berpikiran mandiri, (2) memiliki sikap berani menanggung resiko, (3) tidak suka mencari kambing hitam, (4) selalu berusaha menciptakan dan meningkatkan nilai sumber daya, (5) terbuka terhadap umpan balik, (6) selalu ingin perubahan yang lebih baik, (7) tidak pernah merasa puas, terus menerus melakukan inovasi dan improvisasi demi perbaikan selanjutnya, dan (8) memiliki tanggung jawab moral yang baik.

7) Kecakapan kejuruan, termasuk olah raga dan seni (cita rasa)
Tidak semua peserta didik menyukai keterampilan berpikir, sebagian dari mereka menyukai keterampilan-keterampilan kejuruan seperti misalnya pertanian, peternakan, kerajinan, bisnis, boga, busana, industry, olah raga, dan kesenian (seni kriya, seni music, seni tari, seni lukis, seni suara, dan seni pertunjukan dsb.). Juga tidak semua peserta didik melanjutkan kependidikan yang lebih tinggi dan karenanya perlu diberi bekal keterampilan kejuruan agar mereka memiliki kemampuan untuk mencari nafkah. Lebih-lebih bagi peserta didik yang berasal dari kalangan marginal secara ekonomi-sosial maka dapat dipastikan bahwa mereka tidak akan melanjutkan kependidikan yang lebih tinggi dan mereka akan terjun dalam kehidupan. Untuk itu, mereka jelas membutuhkan keterampilan kejuruan yang secara praktis dapat digunakan untuk mencari nafkah.

8) Kecakapan memilih, menyiapkan dan mengembangkan karir
Setiap siswa kelak berharap memiliki karir yang sesuai dengan potensi diirinya dan sesuai dengan peluang yang ada. Selain itu, karir yang dimiliki diharapkan dapat memberikan penghargaan yang layak. Untuk sampai pada harapan tersebut, peserta didik perlu dikenalkan tentang potensi diirinya, jenis-jenis karir yang ada dalam kehidupan, persyaratan untuk memasuki jenis karir tertentu dan disiapkan agar kelak setelah lulus siswa mampu memilih, menyiapkan, dan mengembangkan karir yang sesuai dengan potensi dirinya. Jangan sampai siswa tidak mengenal potensi dirinya sendiri dan jenis-jenis karir yang ada. Karena itu tahap-tahap pendidikan karir yang dimulai dari career awareness, career planning , sampai pada career development perlu dikenalkan kepada semua peserta didik.

9) Kecakapan menjaga harmoni dengan lingkungan
Peserta didik hidup dalam lingkungan nyata dan lingkungan maya sekaligus. Lingkungan nyata berupa fisik yang dapat dirasakan oleh panca indera seperti tanah, air dan udara. Terhadap lingkungan fisik, peserta didik harus mampu menjaga kesehatan dirinya (kebersihan, ketegaran badan) dan keharmonisan dengan alam sekitarnya (memelihara lingkungan). Lingkungan maya yang juga disebut nirpisik adalah suasana sosial yang dapat ditangkap oleh otak dan dirasakan oleh hati. Terhadap lingkungan maya (nirpisik), peserta didik harus mampu menjaga keharmonisan dengan masyarakat disekitarnya.

10) Kecakapan menyatukan bangsa berdasarkan nilai-nilai Pancasila
Negara Kesatuan Repuplik Indonesia terdiri dari keanekaragaman kebhinekaan dalam suku, agama, ras, dan asal-usul, tetapi harus tetap menjadi satu (bhineka tunggal ika). Untuk mencapai bhineka tunggal ika diperlukan upaya-upaya nyata, baik melalui PS maupun PLS. Peserta didik perlu diberi bekal kemampuan mengintegrasikan kebhinekaan bangsa berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Menghargai perbedaan agama, menjunjung tinggi hak asasi manusia, menjaga kesatuan bangsa, demokrasi, keadilan sosial, kecintaan terhadap negaranya, kepahlawanan dan apresiasi terhadap para pahlawan, apresiasi terhadap peninggalan budaya, kebebasan dan tanggung jawab, kesadaran sebagai warganegara, adalah contoh-contoh kecakapan hidup untuk menyatukan bangsa berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

3. PEMBELAJARAN BERORIENTASI “LIFE SKILL”
“Life Skill” atau Kecakapan Hidup, perlu dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan berkehidupan secara wajar, proaktif, dan kreatif serta menemukan solusi sehingga akhirnya siswa mampu mengatasinya. Tujuan pendidikan yang berorientasi pada “Life Skill’ secara umum adalah mengembangkan potensi peserta didik dalam rangka menghadapi perannya dalam kehidupan di masa yang akan datang.
Adapun secara khusus tujuan pendidikan berorientasi “Life Skill” menurut Tim “Broad Base Education” (2002),adalah :
a. Mengaktulisasikan potensi peserta didik, sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problem yang dihadapi.
b. Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas.
c. Mengoptimalkan sumber daya di lingkungan sekolah.
Ada lima macam “Life Skill” menurut Tim “BBE” (2002), yaitu kecakapan:
a. Mengenal diri / “Personal Skill” / “Self Awaraness”
b. Berfikir rasional / “Thinking Skill”
c. Sosial / “Social Skill”
d. Akademik / “Academic Skill”
e. Vokasional / Keterampilan Kejuruan // “Vovational Skill”
Berikut ini adalah kecakapan hidup tentang :
a. Kecakapan Mengenal Diri (Self Awareness) atau sering juga disebut kemampuan personal,
mencakup :
1) Penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
2) Menyadari sebagai anggota masyarakat , dan warga Negara (Eksistesi)
3) Menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus
menjadikannya sebagai modal dan meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat
bagi diri sendiri dan lingkungannya (Potensi)
b. Kecakapan Berfikir Rasional (Thinking Skill), mencakup :
1) Kecakapan menggali dan menemukan informasi.
2) Kecakapan mengolah informasi
3) Kecakapan mengambil keputusan.
4) Kecakapan memecahkan masalah secara kreatif.
c. Kecakapan Sosial (Social Skill) atau Kecakapan Interpersonal, mencakup :
1) Kecakapan komunikasi lisan
2) Kecakapan komunikasi tulisan
3) Kecakapan bekerjasama.
d. Kecakapan Akademik (Academik Skill) disebut juga Kemampuan Berfikir Ilmiah, mencakup :
1) Mengidentifikasi variabel.
2) Menghubungkan variabel
3) Merumuskan hipotesis.
3) Melakukan penelitian.
e. Kecakapan Vocational (Vocational Skill) sering kali disebut Keterampilan Kejuruan. Artinya,
keterampilan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat,
seperti teknisi, sekretaris, dan lain sebagainya. Keterampilan kejuruan dapat diklasifikasikan
dalam 9 macam keterampilan, yaitu :
1) Berbahasa, meliputi : berkomunikasi, bercerita, membaca, menulis, berbicara, dan lain
sebagainya.
2) Seni, meliputi : merancang, melukis, bernyanyi, dan bersyair.
3) Gerak, meliputi : olahraga, bela diri, menari, dan lain sebagainya.
4) Ruang, meliputi : tata letak ruang, penempatan barang, keindahan ruang.
5) Logika atau penalaran, meliputi : observasi, analisis, evaluasi, berhitung, penelitian, dan
kegiatan ilmiah.
6) Interpersonal, meliputi : bergaul, memimpin, empati, kerjasama, dan saling menghormati.
7) Intrapersonal, meliputi : kepedulian, kasih saying, toleransi, keadilan, dan tanggungjawab.
8) Spiritual yaitu mempraktekkan agam yang dianut dalam kehidupan sehari-hari dengan
konsisten
9) Emosional, meliputi : sabar, keteladanan, dan lain sebagainya.
Pada kehidupan nyata, antara General Life Skill, dan Specific Life Skill tidak berfungsi secara terpisah, tetapi kecakapan-kecakapan ini melebur menjadi satu dalam diri pribadi seseorang. Wujudnya berupa sebuah tindakan individu yang melibatkan aspek fisik, mental, emosional, dan intelektual (Nurfina Aznam, 2002).
Dalam melaksanakan kebijakan pendidikan yang berorientasi pada kecakapan untuk hidup, maka fokus utama kegiatan pendidikan haruslah ditajukan untuk mempersiapkan para siswa agar memiliki kecakapan untuk hidup, agar mampu menempuh perjalanan hidup. Pendidikan formal untuk mengembangkan keempat spektrum life skills' itu perlu dirancang ulang secara sistematis ke dalam kurikulum sekolah. Untuk itu pengorganisasian mata pelajaran secara bertahap juga perlu mengacu kepada keempat bidang life skills' itu dengan porsi alokasi waktu yang seimbang dan proporsional sesuai dengan jenjang pendidikan dan jenis persekolahannya.

3.1 Bagaimana kurikulumnya ?
Oleh karena semua kegiatan pendidikan pada hakekatnya adalah merupakan upaya untuk mempersiapkan generasi muda anak-anak bangsa agar mampu menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya di kelak kemudian hari, maka kurikulum pada semua jenjang pendidikan dan jenis persekolahan haruslah mengarah kepada life skills education' dengan porsi dan kadar yang serasi. Struktur program kurikulum hendaknya juga menggambarkan keinginan kita sebagai bangsa untuk mewujudkan terkuasainya keempat jenis kecakapan dasar tersebut untuk memperkuat kecakapan-kecakapan yang telah diperoleh melalui pendidikan informal di dalam keluarga dan masyarakat. Penataan ulang ini hendaknya senantiasa mempertimbangkan kepentingan nasional sebagai suatu bangsa yang besar yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan dan jenis persekolahan secara nasional, narnun dengan mempertimbangkan juga kepentingan sekolah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
Di dalam melaksanakan life skills education' ini porsi untuk 'personal skills' dan 'vocational skills' diusahakan seimbang, misalnya masing-masing 40%. Narnun spektrum 'social skills' dan 'environmental skills' juga perlu dijamah secara merata, misalnya masing-masing 10% dari alokasi waktu ideal yang tersedia. Alokasi 40% untuk 'personal skills' pelu dijabarkan lagi untuk 'physical skills', 'intellectual skills', 'emotional skills' dan 'spiritual skills' secara proporsional. Sejumlah mata pelajaran yang selama ini sudah diajarkan di sekolah-sekolah sebaiknya tetap diteruskan untuk diajarkan, tetapi perlu ditata-ulang dan diarahkan untuk mendukung terwujudnya kemampuan setiap bidang kecakapan untuk menempuh perjalanan hidup.
Pendidikan keterampilan pada bidang 'Vocational Skills' hams benar-benar disesuaikan dengan keperluan nyata masing-masing sekolah bersama-sama masyarakat setempat sebagai salah satu wujud dari pelaksanaan olonomi daerah dan otonomi di bidang penyelenggaraan pendidikan. Namun demikian kepentingan nasional dan internasional juga periu dipertimbangkan. Dalam rangka pelaksanaan 'Broad Based Education' pendidikan keterampilan tersebut harus menjadi fokus utama. Pelaksanaan pendidikan keterampilan ini harus perpihak pada kepentingan sebagian besar masyarakat yang, sangat membutuhkan kehadirannya mengingat anak-anak mereka sangat kecil kemungkinannya untuk dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

3.2 Bagaimana proses pembelajarannya ?
"Life Skills Education" diberikan secara tematis mengenai masalah-masalah kehidupan nyata sehari-hari. Tema-tema yang akan ditetapkan harus betul-betul bermakna bagi siswa, baik untuk saat ini maupun untuk kehidupannya di kelak kemudian hari. Pendekatan yang digunakan adalah pemecahan masalah secara kasus yang dapat dikaitkan dengan beberapa mata pelajaran lain untuk memperkuat penguasaan life skills tertentu. Dengan pendekatan pemecahan masalah kehidupan sehari-hari para siswa menjadi semakin terlatih untuk menghadapi kehidupan yang nyata. Tema yang disajikan dapat berupa bahan diskusi untuk masing-masing kelas, untuk tingkat kelas yang sama dan untuk seluruh siswa.
Cakupan untuk setiap mata pelajaran juga perlu ditata-ulang dan diatur kembali alokasi waktu dan jamnya dalam setiap minggu. Di dalam alokasi jam pelajaran yang sudah diajarkan selama ini, untuk jam-jam pelajaran tertentu perlu disepakati pengurangannya untuk direalokasikan sebagai kontribusi kepada kegiatan life skills education' menjadi kumpulan jam pelajaran untuk membahas tema tertentu bersama-sama dengan semua mata pelajaran terkait.

3.3 Bagaimana Pengorganisasian Gurunya ?
Dalam melaksanakan life skills education' yang disajikan secara tematis, pada minggu-minggu tertentu guru tidak lagi mengajar sebagai guru mata pelajaran, akan tetapi sebagai suatu tim pelaksana life skills education'.Dalam tema 'Menyembelih binatang kurban' misalnya, guru Agama sebagai inti dalam merancang persiapan, pelaksanaan dan pelaporan kegitan akan bekerja sama dengan guru Bahasa Indonesia, guru Bahasa Inggris, guru IPS, guru PPKn, guru Matematika. Tema 'Rekreasi ke bendungan air setempat', atau 'Membantu korban banjir', atau 'Membangun jembatan baru' maka Guru IPA dan IPS sebagai inti akan bekerja sama dengan guru Matematika, guru Bahasa Indonesia, guru Bahasa Inggris, guru Agama, dan guru PPKn untuk merancang persiapan, pelaksanaan dan pelaporan kegiatan. Tema-tema lain masih banyak sekali yang dapat disepakati untuk ditetapkan sebagai penunjang pencapaian tujuan life skills' dengan melibatkan sebanyak mungkin guru mata pelajaran yang terkait.
Ketika merancang suatu tema ada baiknya para siswa juga dilibatkan agar pelaksanaannya lebih bermakna bagi mereka. Guru Pembimbing juga perlu untuk selalu dilibatkan secara berkala agar dapat menjelaskan kepada para siswa mengenai berbagai jenis pekerjaan yang tersedia, cara-cara untuk memilih dan mempersiapkannya sesuai dengan bakat dan minat siswa yang bersangkutan. Dalam merancang Program Semester, sekolah menetapkan jadwal mingguan yang isinya mencakup antara lain: pada minggu ke berapa akan dibahas topik apa, guru mata pelajaran apa yang menjadi inti dan guru mata pelajaran apa saja yang terlibat sebagai pendukung, media apa yang digunakan dan bagaimana mengevaluasinya.



3.4 Bagaimana pemanfaatan media belajarnya ?
Media pembelajaran baik yang tersedia di dalam sekolah, di lingkungan sekitar sekolah maupun di luar sekolah, hendaknya dimanfaatkan sebanyak mungkin dalam proses pembelajaran. Para siswa, orang tua siswa dan masyarakat sekitar juga dapat dilibatkan dalam penyediaan media pembelajaran yang diperlukan.

3.5 Bagaimana contoh modelnya ?
Tabel di bawah ini hanya dimaksudkan sebagai suatu contoh model kerangka struktur program kurikulum sekolah yang mengarah kepada kebijakan life skills'. Model ini masih sangat terbuka luas untuk didiskusikan secara lebih mendalam lagi, khususnya dalam menyepakati berapa jumlah kontribusi jam dalam seminggu untuk mendukung pelaksanaan life skills'.

MODEL KERANGKA STRUKTUR PROGRAM KURIKULUM"LIFE SKILLS"

No BIDANG LIFE SKILLS PORSI MATA PELAJARAN INTI KONTRIBUSI JAM UNTUK LIFE SKILLS PER MINGGU
1. Personal Skills : 40%
Physical skills Pendidikan Jasmani dan
Kesehatan
Intellectual Skills Bahasa Indonesia dan
Matematika Dasar
Emotional Skills Kesenian, Sastra dan Budi
Pekerti
Spritual Skills Pendidikan Agama
2. Social Skills : 10% PPKn, Sejarah dan Ekonomi
3. Environmental Skills : 10% Geografi, Kependudukan
dan Lingkungan Hidup
4. Vocational Skills : 40% Matematika Lanjut
IPA Lanjut
Bahasa Inggris
Bahasa Asing lain
Pendidikan Ketrampilan



4. Implementasi Pendidikan “Life Skill” dalam Pembelajaran Biologi

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Nama Sekolah : SMA Negeri 21 Bandung
Mata Pelajaran : Biologi
Kelas/Semester : X/1
Waktu : 2 Jampel
KKM : 70

I. Standar Kompetensi : Memahami hakikat biologi sebagai ilmu

II. Kompetensi Dasar : Mengidentifikasi ruang lingkup biologi

III. Indikator : 1. Menunjukkan contoh kaitan antara fenomena alam dengan persoalan biologi
dengan benar
2. Mengelompokkan ruang lingkup biologi berdasarkan objek, persoalan, dan
tingkat organisasi dengan benar
3. Membuat laporan ruang lingkup biologi berdasarkan hasil observasi dengan
benar
4. Menunjukkan sikap dan minat belajar terhadap mata pelajaran biologi

IV. Tujuan Pembelajaran :
1. Setelah melakukan pengamatan fenomena alam diharapkan siswa dapat menunjukkan contoh kaitan antara fenomena alam dan persoalan biologi dengan benar
2. Setelah siswa mengelompokkan ruang lingkup biologi berdasarkan objek, persoalan, dan tingkat
organisai kehidupan dengan benar
3. Membuat laporan ruang lingkup biologi berdasarkan hasil observasi dengan benar

V. Materi :
Berdasarkan struktur keilmuan Biological Science Curikulum Study (BSCS) memiliki objek berupa kerajaan/kingdom Hewan, Tumbuhan, Protista terdapat pula cabang-cabang biologi yang didasarkan atas objek misalnya zoology, botani, entomologi, cabang biologi didasarkan pada persoalan seperti ekologi, toksiologi, taksonomi dll. Cabang biologi didasarkan pada tingkat organisasi seperti sitologi, histology, organolog

VII. Pendekatan dan Metoda :
- Pendekatan : Lingkungan
- Metoda : Pengamatan / observasi, diskusi, Problem Solving

VIII. Kegiatan pembelajaran :
A. Pendahuluan (10’)
1. menyampaikan tujuan pembelajaran
2. prasyarat / apersepsi : siswa telah memahami tentang sains
3. Motivasi : Ditunjukkan beberapa contoh fnomena alam berupa bencana alam. Apakah peristiwa
ini ada kaitannya dengan Biologi ?
B. Kegiatan Inti (50’)
Eksplorasi….
1. Siswa mengamati fenomena alam yang terjadi di sekitar, misalnya tentang kebersihan
lingkungan, bencana alam.
2. Siswa berdiskusi mengidentifikasi persoalan-persoalan biologi di sekitar siswa yang ada
kaitannya dengan ruang lingkup biologi. (kesadaran diri, kecakapan berpikir, kecakapan social)
3. Guru selama proses pembelajaran melakukan penilaian proses (instrument penilaian terlampir)
Elaborasi …
4. Siswa memaparkan hasil pengamatan dan observasi tentang ruang lingkup biologi
Klarifikasi …
5. Diskusi kelas untuk melakukan penegasan tentang ruang lingkup biologi

C. Penutup (20’)
1. Diskusi kelas untuk melaksanakan refleksi dan membuat rangkuman tentang ruang lingkup
biologi berdasarkan persoalan lingkungan
2. guru memberikan tugas di rumah untuk melakukan pengamatan tentang persoalan
Lingkungan / alam yang ada di sekitar siswa (TT) kaitannya dengan ruang lingkup biologi dan
membuat laporannya (PT / TMTT)

IX. Penilaian :
A. Instrumen Penelitian Kognitif

No. Indikator Soal

1.
Berdsarkan hasil pengamatan fenomena alam yang terjadi di sekitar siswa, siswa dapat menunjukkan fenomena alam yang ada kaitannya dengan persoalan biologi











1. Perhatikan pernyataan berikut ini :
a. Akibat adanya semburan lumpur di Sidoarjp
Jawa Timur sampai saat ini (hari ke 73)
belum dapat diatasi sehingga volume lumpur
saat ini sekitar 3,65 juta m3
b. Tumpukan sampah pernah terjadi di kota
Bandung karena ditutupnya TPA, sehingga
selama beberapa bulan memperoleh
predikat kota terkotor.
c. Tsunami di daerah Pantai selatan P. Jawa
telah menyebabkan hilangnya pekerjaan
para nelayan di pantai Pangandaran dan
rusaknya taman laut
Berdasarkan pernyataan tersebut, kejadian
manakah yang merupakan persoalan Biologi ?
Jelaskan !

2
Disajikan contoh fenomena alam, siswa dapat mengelompokan ruang lingkup biologi berdasarkan objek, persoalan, dan ingkat organisasi kehidupan.
2. Masyarakat Desa Kenari mengalami
kerawanan pangan karena musim kemarau,
selain itu 3 orang meninggal akibat terserang
flu burung, 10 orang balita meninggal karena
demam brdarah. Berdasarkan data tersebut
kelompokkanruang lingkup Biologi berdasarkan
objek, persoalan, dan tinglat organisasi
kehidupan

3
Berdarkan hasil pengamatan fenomena alam yang terjadi di sekitar siswa membuat laporan ruang lingkup biologi
3. Buatlah laporan hasil pengamatan tenang ruang lingkup
Biologi !

4
Setelah belajar biologi, siswa dapat menunjukkan sikap dan minat belajar biologi yang positif

4. Setelah belajar tentang ruang lingkup Biologi,
bagaimana menurut pendapatmu ?
○Meningkatkan imtaq 4 3 2 1
○Mudah dipahami 4 3 2 1
○Bermanfaat 4 3 2 1
○Menyenangkan 4 3 2 1
○Menantang 4 3 2 1

B. Penilaian Afektif (Life Skill)
No. Nama Siswa Aspek yang dinilai Skor Nilai
1 2 3 4 5 6 7






















Ket : 1. Bekerjasama 2. Berkomunikasi lisan 3. Berkomunikasi tulisan 4. Menggali informasi 5. Mengolah informasi
6. Mengambil Keputusan 7. Memecahkan Masalah. Nilai : 1= kurang 2= cukup 3= baik 4= amat baik










C. Kriteria Jawaban dan Kriteria Penilaian

No. Kriteria Jawaban Kriteria Penilaian Skor Total
1 Semburan lumpur di Sidoarjo, tumpukan sampah di Bandung, tsunami di Pangandaran merupakan persoalan biologi
Penjelasan : karena akan mengganggu keseimbangan lingkungan sehingga sumber daya dukung lingkungan akan terganggu dan berpengaruh kepada samua makhluk hidup yang hidup di tempat tersebut. Ini merupakan persoalan biologi karena ada kaitannya dengan ekosistem 0 - 10


0 - 10 20
2 - Objek biologi misalnya hewan punah, tumbuhan punah
dan rusak
- Persoalan biologi misalnya ekosistem terganggu karena
daya dukung lingkungan rusak
- Tingkat oeganisme kehidupan akan mengalami kerusakan
misalnya plankton, zooplankton dan makhluk hidup
anggota multiseluler (hewan, tumbuhan) lainnya (individu,
populasi, dan komunitas). Makhluk hidup yang
berkembangbiak dengan cepat misalnya nyamuk dan yang
lainnya. 0 - 5

1 - 5

0 -20 30
3 - Laporan berisi :
Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab Pendahuluan
- Latar Belakang
- Rumusan Masalah
- Tujuan
Bab Kajian Pustaka
Bab Hasil Pengamatan dan Pembahasan
Bab Penutup
- Kesimpulan
- saran
0 - 3
0 - 4
0 - 3

0 – 5
0 – 5
0 – 5
0 – 15
0 – 20
0 – 10
0 – 5
0 - 5
80
4 - Sangat baik A = 4
- Baik B = 3
- Cukup C = 2
- Kurang 1 = 1 4 - 12 12

Mengetahui, Bandung, ………………………………….
KEPALA, Guru Mata Pelajaran,




¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬___________________ _______________________


LEMBAR KERJA SISWA
Mata Pelajaran : Biologi
Konsep : Ruang lingkup Biologi

1. Perhatikan lingkungan sekitar kamu, kemudian isilah tabel hasil pengamatan dan pengukuran berikut :
No. Tempat Fenomena Alam Dampak terhadap organisme/lingkungan Keterangan
Suhu :
Kelembaban :







2. Perhatikan tabel di atas !
a. Kondisi / fenomena alam apa yang kamu amati / terjadi ? ___________________________________
_________________________________________________________________________________
_________________________________________________________________________________
b. Apakah dampak terhadap organisme / lingkungan yang berada di sekitar tempat tersebut ?
_________________________________________________________________________________
_________________________________________________________________________________
c. Apakah ada kaitannya dengan biologi ? Mengapa ? ________________________________________
__________________________________________________________________________________
__________________________________________________________________________________
3. Berdasarkan data di atas kelompokkan ruang lingkup biologi berdasarkan objek, persoalan, dan tingkat
organisasi kehidupan !_________________________________________________________________
___________________________________________________________________________________
Nilai Paraf
Guru Orang tua